in ,

Bank Dunia: Otoritas Fiskal Hati-Hati Tangani Inflasi

Hati-Hati Tangani Inflasi
FOTO: IST

Bank Dunia: Otoritas Fiskal Hati-Hati Tangani Inflasi

Pajak.com, Jakarta – World Bank (Bank Dunia) mengingatkan otoritas fiskal dan moneter di seluruh negara untuk hati-hati dalam tangani tren kenaikan inflasi. Sebab berdasarkan hasil studi Bank Dunia, ancaman resesi global diproyeksi terus meningkat hingga tahun 2023  karena bank sentral di pelbagai negara secara bersamaan berpotensi menaikkan suku bunga.

Wakil Presiden Bank Dunia untuk Pertumbuhan, Keuangan, dan Institusi Berkeadilan Ayhan Kose mengimbau agar bank sentral di seluruh dunia mengupayakan langkah-langkah pengendalian inflasi tanpa memperbesar risiko resesi. Secara simultan, otoritas fiskal juga harus bijak dan berhati-hati dalam mengalibrasi penarikan langkah dukungan fiskal sambil memastikan konsistensi dengan tujuan kebijakan moneter.

“Beberapa negara diperkirakan akan mengetatkan kebijakan fiskal 2023 ke level tertinggi sejak awal 1990-an. Namun, pembuat kebijakan diharapkan tetap menerapkan rencana fiskal jangka menengah yang kredibel serta memberikan bantuan untuk rumah tangga yang rentan. Pengetatan kebijakan moneter dan fiskal kemungkinan akan efektif membantu dalam mengurangi inflasi, tetapi juga dapat saling memperparah perlambatan pertumbuhan global,” ungkap Kose dalam keterangan tertulis yang dikutip Pajak.com (21/9).

Hal senada juga ditekankan oleh Presiden Grup Bank Dunia David Malpass. Ia mengingatkan agar seluruh dunia dapat lebih hati-hati tangani dan mengeluarkan kebijakan untuk inflasi. Jangan sampai kebijakan dapat menekan pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga  Pemerintah Kebut Revisi UU Migas untuk Dukung Investasi Migas di Era Transisi Energi

“Bank Dunia memproyeksi, pertumbuhan global melambat tajam, dengan kemungkinan perlambatan lebih lanjut karena lebih banyak negara jatuh ke dalam resesi. Studi Bank Dunia menyoroti keadaan luar biasa ketika bank sentral berupaya mengatasi lonjakan inflasi yang tengah terjadi saat ini. Beberapa indikator historis resesi global juga sudah memberikan peringatan,” ungkap Malpass.

Ia menyebutkan, perekonomian global sejak pandemi COVID-19 telah mengalami perlambatan paling tajam setelah pemulihan pasca-resesi sejak 1970. Kepercayaan konsumen global juga sudah menurun lebih tajam dibandingkan dengan resesi global sebelumnya.

“Perlambatan ekonomi biasanya memerlukan kebijakan kontra-siklus guna mendukung aktivitas ekonomi. Namun, tekanan inflasi dan ruang fiskal yang terbatas mendorong para pembuat kebijakan untuk menarik kebijakan itu, bahkan ketika ekonomi global melambat tajam,” ujar Malpass.

Di Indonesia, ancaman resesi itu sudah disadari dan dimitigasi oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Adapun KSSK terdiri dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, dan Ketua Lembaga Penjamin Simpananan (LPS) Purbawa Yudhi Sadewa.

Sri Mulyani yang merupakan ketua KSSK menuturkan, kondisi perekonomian global semakin mengkhawatirkan karena masih dibayangi oleh pandemi, ancaman stagflasi, resesi yang terjadi di Amerika Serikat (AS), serta perang Rusia vs Ukraina, konflik antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Taiwan.

Baca Juga  Keberhasilan Transformasi PLN Menjadi “Benchmark” Perusahaan Internasional

“KSKK memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, disertai meningkatnya risiko stagflasi dan ketidakpastian pasar keuangan global. Tekanan inflasi global terus meningkat seiring dengan tingginya harga komoditas akibat berlanjutnya gangguan rantai pasokan, diperparah oleh berlanjutnya perang di Ukraina, serta meluasnya kebijakan proteksionisme, terutama pangan,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK, (1/8).

KSSK pun telah menyiapkan strategi dan mitigasi untuk mengatasi ancaman stagflasi dan resesi global itu. Pertama, KSSK akan terus mencermati perkembangan inflasi di pasar domestik yang terus meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), laju inflasi tahunan per Juli 2022 di Indonesia mencapai 4,94 persen. Inflasi diprediksi semakin tinggi seiring dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

“Laju Inflasi menunjukkan tren meningkat karena tingginya tekanan sisi penawaran seiring dengan kenaikan harga komoditas dunia dan gangguan pasokan domestik. Inflasi inti tetap terjaga pada level 2,86 persen. Stabilnya inflasi inti didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi,” jelas Sri Mulyani.

Baca Juga  SMF Kucurkan Dana Rp 113,59 Triliun Pembiayaan dan Sekuritisasi Perumahan 

Kedua, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, bank sentral telah mewaspadai efek stagflasi dunia, khususnya pada stabilitas pasar keuangan di Indonesia. Untuk itu, BI telah berupaya untuk menahan suku bunga acuan.

Seperti diketahui, BI memutuskan untuk menahan suku bunga acuan atau BI-7DRRR di level 3,5 persen. Level suku bunga BI itu tidak pernah dinaikkan selama 17 bulan berturut-turut. Seirama dengan itu, BI menetapkan suku bunga deposit facility sebesar 2,75 persen dan suku bunga lending facility 4,25 sebesar persen.

“Kami melakukan koordinasi secara intensif untuk mencegah terjadinya stagflasi. Esensinya itu. Setelah koordinasi kebijakan moneter dan fiskal, KSSK menjadi penting bagaimana mencegah risiko terjadinya stagflasi yang merupakan dampak dari global,” jelas Perry.

Ketiga, menjaga stabilitas nilai tukar dan pengelolaan likuiditas. Perry mengungkapkan, seluruh dunia tengah mengalami pelemahan nilai tukar. Maka dari itu, BI akan melakukan stabilisasi nilai tukar sehingga dapat menjaga inflasi dari tekanan dollar AS dan gejolak ekonomi global.

“Kami intervensi dan karenanya nilai tukar depresiasinya lebih rendah dari negara lain. Kami stabilitas ini sebagai bagian pengendalian inflasi,” tambah Perry.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *