in ,

Wamenkeu Diskusikan Tantangan Perpajakan Internasional di Pertemuan ADB ke-58 Italia

Tantangan Perpajakan Internasional
FOTO: KLI Kemenkeu

Wamenkeu Diskusikan Tantangan Perpajakan Internasional di Pertemuan ADB ke-58 Italia

Pajak.com, Italia – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Thomas Djiwandono beserta delegasi menghadiri Pertemuan Tahunan Asian Development Bank (ADB) ke-58 di Milan, Italia. Sebagai bagian dari forum itu, Thomas menggelar pertemuan bilateral bersama Vice President East Asia and Pacific (EAP) World Bank Manuela Verro untuk mendiskusikan berbagai upaya menghadapi tantangan global, salah satunya mengenai perpajakan internasional.

“Dunia masih menghadapi tantangan global, meliputi peningkatan tingkat utang global khususnya di negara-negara berpendapatan rendah, tensi geopolitik dan economic fragmentation, hambatan perdagangan dan proteksionisme, risiko stabilitas keuangan, isu demografik, digitalisasi, serta perpajakan internasional,” ungkap Thomas dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (15/5/25).

Untuk itu, Pemerintah Indonesia meminta Multilateral Development Bank (MDBs), termasuk World Bank, untuk memperkuat kerja sama dalam memprioritaskan sektor yang dapat menciptakan lapangan kerja berkualitas, mengurangi kemiskinan, dan memastikan pembangunan yang seimbang di seluruh wilayah dan masyarakat.

Isu Perpajakan Internasional 

Sebagaimana diketahui, isu utama perpajakan internasional saat ini adalah mengenai implementasi Pilar I dan Pilar II yang dinisiasi oleh OECD/G-20 Inclusive Framework (IF). Kedua pilar tersebut bertujuan untuk merespons perkembangan model bisnis, globalisasi, dan digitalisasi sehingga mampu mencegah praktik penghindaran pajak.

Baca Juga  Pajak Minimum Global: Praktisi Sarankan 4 Langkah untuk Perusahaan Multinasional 

Adapun Pilar I mengatur tentang hak pemajakan global atas penghasilan yang diterima perusahaan multinasional yang tercakup dalam kriteria yang ditentukan. Dalam hal ini setiap perusahaan multinasional yang memiliki peredaran usaha secara global di atas 20 miliar euro harus mengalokasikan kembali lebih dari 25 persen keuntungannya untuk dibagikan kepada yurisdiksi tempat pelanggan atau pengguna jasanya berada. Namun, konsensus Pilar I ini belum diimplementasikan.

Sementara itu, Pilar II mengatur tentang Global Anti-Base Erosion (GloBE) yang menetapkan Pajak Penghasilan (PPh) korporasi dengan tarif minimum sebesar 15 persen. Pajak minimum tersebut menyasar semua perusahaan multinasional dengan peredaran usaha lebih dari 750 juta euro setahun. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu mencatat, hingga Januari 2025, lebih dari 40 negara yang telah mengimplementasikan Pilar II.

Indonesia juga telah mengadopsi Pilar II melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global.  

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *