in ,

TaxPrime Ungkap Strategi Mengajukan Upaya Alternatif Selain Keberatan Pajak

Mengajukan Alternatif Keberatan Pajak
FOTO: Tiga Dimensi

TaxPrime Ungkap Strategi Mengajukan Upaya Alternatif Selain Keberatan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan opsi alternatif bagi Wajib Pajak yang tidak bisa mengajukan keberatan karena telah terlewat jangka waktu pengajuannya untuk menempuh jalur hukum Pasal 36 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Berdasarkan kompetensi dan pengalamannya, Tax Litigation and Dispute Advisor TaxPrime Dimas Priambodo membagikan strategi dalam mengajukan upaya alternatif selain keberatan pajak.

Dalam wawancara eksklusif bersama Pajak.com, Dimas menekankan bahwa upaya Pasal 36 Ayat (1) huruf b UU KUP untuk mengakomodir Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat formal pengajuan keberatan, yaitu 3 bulan setelah Surat Ketetapan Pajak (SKP) diterbitkan oleh DJP. Di sisi lain, jalur Pasal 36 Ayat (1) huruf b UU KUP tidak memiliki batas waktu pengajuan sehingga dapat ditempuh, sepanjang Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan.

“Kalau Wajib Pajak masih dalam jangka waktu pengajuan keberatan, kami biasanya akan advis untuk pengajuan keberatan dulu. Karena prosesnya akan berbeda dan itu tantangan bagi Wajib Pajak. Kalau di keberatan, Peneliti Keberatan memiliki kewajiban untuk melakukan diskusi terkait sengketa dan melakukan permintaan data/dokumen kepada Wajib Pajak dalam prosesnya. Kalau pengajuan Pasal 36, Petugas Pajak tidak memiliki kewajiban untuk melakukan diskusi melakukan permintaan data/dokumen kepada Wajib Pajak, bisa saja dalam waktu yang relatif singkat DJP memberikan surat keputusan setelah pengajuan pasal 36 disampaikan. Jadi, sebenarnya lebih punya risiko (ditolak permohonannya),” ungkap Dimas di Ruang Rapat TaxPrime, Menara Caraka, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, dikutip Pajak.com (24/2).

Strategi Pengajuan Jalur Pasal 36 Ayat (1) huruf b UU KUP

Ia menyebut, ketidakwajiban petugas pajak meminta dokumen lanjutan dalam proses pengajuan upaya administratif Pasal 36 Ayat (1) huruf b UU KUP termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pembetulan, Keberatan, Pengurangan, Penghapusan, Dan Pembatalan Di Bidang Perpajakan.

”Kemungkinan besar DJP hanya akan meneliti dan mempertimbangkan dokumen yang ada saja. Karena selama proses 6 bulan, ada kemungkinan tidak terjadi diskusi antara Wajib Pajak dengan petugas pajak,” imbuhnya.

Baca Juga  Tidak Bisa Ajukan Keberatan? Konsultan Pajak Ini Rumuskan 3 Pertimbangan Jalur Hukum

Pastikan Data/Dokumen Lengkap dan Tepat  

Oleh karena itu, Dimas menekankan, strategi utama yang dilakukan adalah menyiapkan dokumen pendukung yang lengkap dan relevan dengan sengketa saat mengajukan Pasal 36 Ayat (1) huruf b UU KUP. Dimas bilang, kelengkapan dan relevansi data/dokumen juga dipengaruhi oleh pemahaman Wajib Pajak dalam memahami koreksi dalam SKP.

“Biasanya kita lebih menguatkan dari sisi dasar hukum, materi penjelasannya, dan dokumen pendukungnya. Jadi, pada saat pengajuan Pasal 36 lampirannya akan banyak dibandingkan keberatan,” ujarnya.

Kendati demikian, merujuk pengalaman Dimas, banyak Wajib Pajak tidak bisa memenuhi hal tersebut karena data/dokumen tidak lengkap atau tidak ditemukan. Terdapat beberapa kondisi yang mengakibatkan data/dokumen tidak lengkap atau tidak ditemukan di sisi Wajib Pajak, yang seringkali ditemukan salah satunya adanya penggantian staf di perusahaan. Staf yang baru, tidak memahami sistem pengarsipan dokumen, sehingga kesulitan dalam menemukan dokumen yang diminta. Untuk itu, ia menyarankan agar Wajib Pajak melakukan manajemen data/dokumen terkait transaksi secara baik.

“Sebagai salah satu contoh klien yang kami dampingi, waktu itu DJP menetapkan koreksi biaya. Maka perlu dipastikan terlebih dahulu biasanya koreksi terkait dengan berhubungan langsung dengan kegiatan usaha atau eksistensi biayanya. Berdasarkan pengalaman klien sebelumnya pada pengajuan upaya pasal 36 pada sengketa yang sama, seringkali keputusannya tidak sesuai dengan harapan klien. Mungkin ditolak karena datanya tidak lengkap atau terdapat nominal atau keterangan yang tidak match antara pencatatan dengan invoice dan faktur pajaknya. Setelah kami dampingi, kami mengelompokkan dan mencocokkan biaya beserta dokumen pendukungnya, lalu kita ajukan Pasal 36 dan diterima oleh KPP,” ungkap Dimas.

Ia menjelaskan, apabila koreksinya seputar biaya pembelian bahan baku, maka Wajib Pajak harus membuktikan bahwa pencatatan didukung dengan dokumen pendukung yang relevan. Ada baiknya juga dibuat arus barangnya, seperti purchase order (PO), delivery order, invoice, faktur pajak, dan dokumen pengirimannya. Pembuktian ini untuk membuktikan eksistensi biaya-biaya tersebut jelas.

“Kejelasan itu dibuktikan berdasarkan kronologinya. Wajib Pajak juga harus mampu menjelaskan arus uang pada saat kita membayarkan. Semua itu memang harus dilengkapi oleh Wajib Pajak dari awal,” ujar Dimas.

Baca Juga  Punya Data Lengkap, Sektor Ini Berpeluang Besar Dikabulkan Permohonan Jalur Hukum Selain Keberatan Pajak

Wajib Pajak Disarankan Proaktif ke Pegawai KPP

Seirama dengan kelengkapan dan relevansi data/dokumen, penting bagi Wajib Pajak bersifat proaktif ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Meskipun petugas pajak tidak memiliki kewajiban untuk melakukan diskusi terkait sengketa dan meminta data/dokumen dalam proses penelitian, Dimas menyebut, Wajib Pajak diperbolehkan untuk inisiatif bertanya kepada petugas pajak tersebut.

“Bahkan, dengan inisiatif itu KPP dan Wajib Pajak bisa saling berdiskusi, sehingga Wajib Pajak dapat memahami ekspektasi KPP terkait pembuktian atas koreksinya, data/dokumen apa yang kira-kira dibutuhkan. Sikap proaktif ini bisa juga dilakukan oleh Wajib Pajak untuk menanyakan progres pengajuan” ungkap Dimas.

Di beberapa kasus, ia juga pernah menemui petugas pajak yang proaktif meminta data/dokumen, membuka ruang diskusi dengan Wajib Pajak, serta memberikan update perkembangan penyelesaian permohonan jalur Pasal 36 Ayat (1) huruf b UU KUP. Namun, Dimas kembali menggarisbawahi, kondisi ini jarang terjadi sehingga Wajib Pajak yang harus proaktif.

“Waktu itu pernah menemui pegawai di salah satu KPP di Jakarta yang proaktif, memberi ruang diskusi terkait koreksi dan dokumen yang dibutuhkan. Bahkan, mereka juga memberikan masukan untuk melampirkan dokumen pendukung, seperti kontrak,” ungkap Dimas.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *