in ,

Punya Data Lengkap, Sektor Ini Berpeluang Besar Dikabulkan Permohonan Jalur Hukum Selain Keberatan Pajak

Data Lengkap
FOTO: Tiga Dimensi

Punya Data Lengkap, Sektor Ini Berpeluang Besar Dikabulkan Permohonan Jalur Hukum Selain Keberatan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Pada upaya administratif Pasal 36 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), tidak terdapat kewajiban bagi petugas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk meminta data/dokumen setelah permohonan disampaikan oleh Wajib Pajak. Untuk itu, Tax litigation and Dispute Advisor TaxPrime Dimas Priambodo menekankan bahwa penyampaian data/dokumen yang lengkap di awal pengajuan menjadi hal krusial dalam jalur ini.

Dimas mengatakan, berdasarkan pengalaman empirisnya, setiap sektor punya peluang yang sama untuk dikabulkan dalam pengajuan upaya administratif Pasal 36 Ayat (1) huruf b oleh KPP. Sepanjang data/dokumen yang disampaikan ke KPP itu lengkap dan relevan dengan sengketa.

Namun berdasarkan pengalamannya, Dimas menyebut terdapat beberapa sektor yang atas permohonan upaya hukum Pasal 36 Ayat (1) huruf b UU KUP nya dikabulkan oleh KPP. ”Kalau success story kami mendampingi Wajib Pajak, sektor retail, manufaktur, dan telekomunikasi adalah sektor-sektor yang diterima pengajuannya. Analisis saya, sektor-sektor ini punya data, transaksi, kronologis yang tercatat dalam sistem dan lengkap,” ungkap Dimas di Ruang Rapat TaxPrime, Menara Caraka, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, dikutip Pajak.com (21/2).

Saat mendampingi Wajib Pajak sektor retail, ia mengaku tidak mengalami tantangan besar untuk membuktikan adanya kesalahan pada koreksi biaya dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP). Eksistensi biaya dan transaksi usaha bisa dibuktikan melalui data/dokumen yang lengkap dan relevan dengan koreksi. Meski demikian, kelengkapan data tersebut pun mempunyai tantangan tersendiri dalam pembuktiannya.

“Sektor retail memiliki transaksi dan produk yang banyak banget. Namun karena kita selalu proaktif dalam mendampingi Wajib Pajak, kita mengusulkan ke petugas KPP apakah pembuktiannya dapat menggunakan metode sampling saja. Karena kalau semuanya, pasti banyak banget. Akhirnya, KPP menyetujui dengan syarat sampling dilakukan pada transaksi biaya yang besar-besar saja. Kita lakukan sampling data, lengkapi dokumen, akhirnya permohonan kami dikabulkan,” ungkap Dimas.

Pada saat itu, Surat Keputusan Permohonan Pasal 36 Ayat (1) huruf b diterima Wajib Pajak dalam jangka waktu 4 bulan—lebih cepat dibandingkan maksimum waktu penetapan.

Baca Juga  Aturan Baru! Pemerintah Terbitkan PMK 118/2024 tentang Pengajuan Keberatan Pajak

Pengalaman serupa turut terjadi saat Dimas mengasistensi Wajib Pajak sektor manufaktur dan telekomunikasi. Dimas kembali menekankan, kemenangan Wajib Pajak sangat dipengaruhi oleh dasar hukum, dokumen yang lengkap dan relevan, disertai dengan sikap proaktif.

“Dengan sikap proaktif, kita mencoba untuk membuka ruang diskusi dengan petugas pajak di KPP dengan harapan penjelasan serta dokumen pendukung dapat disampaikan dengan baik. Sikap proaktif ini bisa juga dilakukan oleh Wajib Pajak untuk menanyakan progres pengajuan. Karena selama proses 6 bulan setelah permohonan masuk, kalau kita pasif, ya menunggu saja hasilnya bagaimana,” ungkap Dimas.

Selain itu, ia mengingatkan bahwa jalur Pasal 36 Ayat (1) huruf b UU KUP bisa diajukan sebanyak dua kali. Artinya, apabila permohonan ditolak, maka Wajib Pajak bisa mengajukan kembali dengan disertai data/dokumen yang lebih lengkap. Dimas pun menyarankan agar Wajib Pajak memaksimalkan kesempatan yang diberikan atas upaya administratif alternatif ini.

“Kami pernah mendampingi perusahaan yang kebetulan ditolak pengajuan pertama Pasal 36-nya dan langsung mengajukan gugatan di Pengadilan Pajak. Lalu, Hakim bertanya, ‘kenapa tidak diajukan lagi Pasal 36 Ayat (1) huruf b UU KUP?’. Belajar dari case ini ternyata itu menjadi pertimbangan Hakim,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, “di lain case, kami mendampingi perusahaan manufaktur, kami maksimalkan dua kali kesempatan, walaupun ditolak. Analisis kami, mungkin KPP hanya memiliki keterbatasan waktu untuk menganalisis dokumennya. Karena perusahaan manufaktur ini proses bisnisnya berjenjang, ada untuk persediaan sendiri, ada yang setengah jadi, sampai jadi produk, lalu dijual. Ternyata di Pengadilan Pajak, peluang untuk memenangkan sengketa lebih besar karena proses persidangan mengakomodir pembuktian data-data dari setiap proses bisnis, akhirnya dikabulkan permohonan gugatannya.”

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *