“Tax Amnesty” Masuk Prolegnas 2025, Akademisi UI dan Praktisi Ingatkan Potensi Penurunan Kepatuhan Pajak
Pajak.com, Depok – Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau tax amnesty masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Menyoroti hal itu, Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) mempertemukan akademisi dan praktisi perpajakan untuk mengkaji repetisi kebijakan tax amnesty yang berpotensi menurunkan kepatuhan pajak.
Hal tersebut disampaikan akademisi UI dan praktisi perpajakan dalam webinar bertajuk ’Urgensi Tax Amnesty dalam Perspektif Teoritis dan International Best Practice’, yang dihadiri oleh sekitar 300 peserta.
Pimpinan FIA UI Teguh Kurniawan menuturkan bahwa kebijakan tax amnesty merupakan pembahasan yang krusial sekaligus strategis dalam upaya meningkatkan kepatuhan perpajakan.
“Implementasi kebijakan tax amnesty harus dilakukan secara hati-hati karena justru berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak yang sudah patuh,” ujar Teguh dalam sambutannya, dikutip Pajak.com, (8/5/25).
Oleh karena itu, ia berpandangan, kunci keberhasilan pelaksanaan tax amnesty terletak pada transparansi, komunikasi publik, dan penguatan penegakan hukum perpajakan secara berkelanjutan.
“Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI berharap webinar ini dapat memberikan masukan kepada para perumus kebijakan dan legislatif dalam merumuskan kebijakan tax amnesty di Indonesia,” imbuh Teguh.
Ketua Departemen Ilmu Administrasi Fiskal UI Inayati pun berharap acara ini dapat menjadi momentum bagi para akademisi dan praktisi perpajakan untuk mengkaji urgensi kebijakan tax amnesty secara komprehensif dan konstruktif
“Jika tax amnesty perlu dilakukan pemerintah lagi, apa yang perlu dipersiapkan? apa yang perlu diperhatikan supaya kebijakan ini benar-benar dapat memperbaiki dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak? Semoga diskusi dalam acara ini bisa memberikan saran untuk pemerintah,” ujar Inaya.
Senior Advisor TaxPrime sekaligus dosen FIA UI Machfud Sidik mengungkapkan bahwa secara teori, tax amnesty memiliki sudut pandang positif dan negatif. Berdasarkan penerapan teori rational expectations, program tax amnesty yang berulang dan tidak disertai dengan penguatan reformasi perpajakan akan menimbulkan penurunan motivasi Wajib Pajak untuk mematuhi kebijakan perpajakan.
“Tax amnesty berpotensi mendorong ketidakpatuhan dalam jangka panjang, bahkan lebih parah jika pemerintah tidak kredibel. Karena idealnya tax amnesty dilakukan sekali saja dengan diikuti penguatan reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Jadi, kebijakan ini yang kontroversial,” ungkap Machfud.
Apabila pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai kebijakan tax amnesty bersifat urgen sehingga harus dilakukan, Machfud pun mendorong adanya penguatan reformasi kelembagaan dan administrasi serta insentif fiskal yang tepat sasaran.
“Kebijakan perpajakan ke depan harus komprehensif dan berkelanjutan dengan final goals voluntary compliance yang didahului oleh better quality of spendings, public service delivery, serta easy of doing business,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Guru Besar Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI Haula Rosdiana. Ia juga mengingatkan agar pemerintah menyusun road map yang jelas apabila tax amnesty kembali diberikan kepada Wajib Pajak. Jika tidak ada peta jalan yang jelas, kepatuhan perpajakan justru akan semakin menurun.
“Studi empiris, setelah tax amnesty justru kepatuhan turun. Karena Wajib Pajak tidak trust kepada pemerintah. Kepatuhan pajak itu sangat tergantung kepada rekognisi Wajib Pajak terhadap perubahan kebijakan fiskal—apakah ke depan Wajib Pajak akan yakin atau tidak tax amnesty ini yang terakhir,” ungkap Haula.
Berdasarkan data kementerian keuangan, rasio pajak di Indonesia mengalami tren penurunan menjadi 9,76 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2019. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2018 yang mencapai 10,24 persen dan berlanjut menjadi 8,33 persen pada tahun 2020.
Menurut Haula, keberhasilan tax amnesty bukan terletak pada berapa banyak Wajib Pajak yang mengikuti atau nilai dari repatriasi, melainkan tingkat kepatuhan pajak secara berkelanjutan. Haula berharap, pemerintah tidak terpaku dengan hasil penerimaan pajak yang meningkat dalam periode tertentu saja.
“Pemerintah harus memastikan setelah tax amnesty, ada manajemen data yang andal dan bagus, seharusnya dalam jangka panjang akan tumbuh basis pemajakan yang baru. Penegakkan hukum pasca-berlakunya tax amnesty juga tidak kalah penting, disertai kapasitas administrasi otoritas perpajakan melalui reformasi kelembagaan,” tegasnya.
Dengan demikian, Haula menekankan perlunya roadmap kebijakan perpajakan pasca-tax amnesty yang jelas, khususnya terkait fungsi pengawasan dan penegakan hukum.
Seirama dengan Haula, Director of DDTC Fiscal Research and Advisory Bawono Kristiaji juga berpandangan bahwa perluasan basis pajak relatif berhasil tanpa tax amnesty. Bahkan, tax amnesty berpotensi menggerus kepatuhan sukarela.
“Terkait justifikasi repatriasi, dibutuhkan [tax amnesty], tapi tax amnesty bukanlah faktor penentu/dominan atas keputusan repatriasi modal,” imbuh Bawono.
Menurutnya, di tengah pelemahan daya beli, deindustrialisasi, pertumbuhan yang melambat, hingga government spending yang kontraksi, kebijakan fiskal berupa tax amnesty perlu dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah maupun DPR.
“Belajar dari pengalaman sebelumnya, kebijakan tax amnesty relatif tidak memberikan dampak langsung terhadap perekonomian nasional secara konsisten,” pungkas Bawono.
Catatan “Tax Amnesty” di Indonesia
Sebagaimana diketahui, kebijakan tax amnesty di Indonesia telah dilakukan beberapa kali. Tax amnesty pertama kali dilakukan pada era pemerintahan Presiden Sukarno melalui Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak.
Tax amnesty juga diberlakukan pada 1984 dalam era kepemimpinan Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak.
Pada tahun 2008, pemerintah menetapkan program kebijakan Sunset Policy yang digaungkan pemerintah sebagai program kebijakan paripurna modernisasi bagi perpajakan pada periode 2001-2007.
Kemudian, kebijakan tax amnesty kembali dilakukan pemerintah pada periode 2016 – 2017 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. Total harta yang diungkap melalui kebijakan ini sebesar Rp4.884 triliun, yang terdiri dari deklarasi harta dalam negeri Rp3.701 triliun dan deklarasi harta luar negeri Rp 1.037 triliun. Kala itu, partisipasi Wajib Pajak yang mengikuti tax amnesty tercatat sekitar 965 ribu.
Dalam sosialisasinya, pemerintah mengatakan bahwa kebijakan tax amnesty tahun 2016 adalah kesempatan terakhir bagi Wajib Pajak. Sebab kebijakan serupa tidak lagi diberikan pemerintah.
Namun, pemerintah kembali melaksanakan kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau populer disebut tax amnesty jilid II pada tahun 2021 – 2022. Program ini diikuti hanya 247.918 Wajib Pajak, dengan deklarasi harta dalam negeri dan repatriasi sebesar Rp513,94 triliun serta deklarasi luar negeri senilai Rp60,07 triliun.
Comments