SMF: Insentif Rp 1 Triliun Bisa Tingkatkan PDB Rp 1,9 Triliun
Pajak.com, Lampung – PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF melaporkan hasil kajiannya bersama DTS Indonesia yang menunjukkan bahwa, insentif sebesar Rp 1 triliun pada sektor perumahan akan memicu peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp 1,9 triliun.
Chief economist SMF Research Institute Martin Daniel Siyaranamual dalam konferensi pers kinerja SMF Semester I-2024 di Bandar Lampung, Minggu (29/9 menjelaskan bahwa, selain akan berdampak pada peningkatan PDB, insentif Rp 1 triliun juga akan memicu penurunan tingkat kemiskinan hingga 0,0022 persen atau sekitar 6.107 orang.
“Setiap kali Rp 1 triliun itu masuk ke sektor perumahan, peningkatan PDB-nya ada, multiplier effect-nya ada, pengurangan angka kemiskinannya ada, peningkatan kesejahteraan-nya ada,” kata Martin dikutip Pajak.com pada Senin (30/9).
Lebih rinci, Martin menjelaskan dampak insentif yang masuk ke sektor perumahan tersebut memiliki multiplier effect yakni berdampak pada 185 sektor lainnya, seperti perdagangan, barang galian, jasa angkutan darat, jasa persewaan dan jasa penunjang usaha, semen, hingga listrik.
Kemudian untuk dampak peningkatan kesejahteraan yakni terciptanya Rp 800 juta aktivitas kesehatan dan akan memberikan dampak positif pada sektor pada aktivitas ekonomi pada sektor pendidikan, dengan kenaikan sekitar Rp 1,38 miliar. Dengan demikian, menurut Martin, sektor perumahan menjadi salah satu lokomotif dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan memiliki peran strategis dalam pengentasan kemiskinan.
“Backlog” Sektor Perumahan
Dalam paparannya, Martin menjelaskan bahwa, ada dua jenis backlog yang perlu menjadi perhatian pemerintah yaitu, backlog kepemilikan dan backlog kelayakan hunian.
Lebih rinci, Martin menjelaskan, backlog kepemilikan (menghuni rumah bukan milik) mencapai 9,905 juta atau sekitar 13,56 persen. Kemudian, backlog kelayakan hunian (tinggal di hunian tidak layak) mencapai 26,921 juta atau sekitar 36,85 persen. Sedangkan, sebanyak 4,486 juta atau sekitar 6,14 persen masyarakat Indonesia menghuni rumah bukan milik dan tidak layak pada 2023.
Menurut Martin, ada empat dimensi sosioekonomi masyarakat yang perlu dipertimbangkan pemerintah untuk merancang intervensi yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Intervensi yang pertama yakni dimensi backlog yang difokuskan pada dua hal yakni backlog kepemilikan dan backlog kelayakan, Lalu, dimensi lokasi kedua backlog tersebut tersebar pada megapolitan, perkotaan dan kabupaten atau desa. Kemudian, dimensi penghasilan terbagi menjadi tiga yakni, miskin, rentan, dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Terakhir yakni dimensi jenis pekerjaan yang difokuskan menjadi pekerja formal dan informal.
“(Simulasi) katakanlah Martin, seorang petani, sudah punya rumah, di wilayah pedesaan, dengan dimensi penghasilan miskin (yang harus dilakukan pemerintah) bantu betulin rumahnya,” jelasnya.
Dengan penerapan intervensi tersebut dapat membantu pemerintah dalam mewujudkan cita-cita pemerintah yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada 2045 yaitu 100 persen rumah tangga dengan akses hunian layak, terjangkau dan berkelanjutan.
Comments