Restitusi PPN: Syarat, Mekanisme, dan Contoh
Pajak.com, Jakarta – Salah satu hak yang didapatkan Wajib Pajak di Indonesia adalah mengajukan pengembalian atas pajak yang lebih dibayarkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau yang kerap disebut restitusi dapat dilakukan di antaranya apabila terdapat kondisi kelebihan pembayaran PPN. Nah, kali ini Pajak.com akan mengulik syarat, mekanisme, dan contoh restitusi PPN.
Syarat
Sejatinya, pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau restitusi dapat dilakukan atas dua kondisi. Pertama, pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Kondisi ini terjadi saat Wajib Pajak membayar pajak padahal seharusnya tidak terutang pajak.
Kedua, pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Hal ini terjadi jika Wajib Pajak membayar pajak lebih besar dari yang semestinya.
Untuk PPN, pengembalian biaya pajak oleh DJP biasanya diajukan karena adanya kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau PPN terutang oleh pengusaha kena pajak (PKP).
Dalam hal pengajuan pengembalian kelebihan bayar atau restitusi PPN, PKP bisa memilih untuk dilakukan proses pengembalian pendahuluan atau proses restitusi biasa. Yang perlu diingat, proses pengembalian pendahuluan lebih cepat hanya dapat dilakukan untuk Wajib Pajak tertentu, Wajib Pajak persyaratan tertentu, dan pengusaha PKP berisiko rendah.
Berdasarkan Pasal 17D UU KUP dan PMK No. 39 Tahun 2018, salah satu syarat pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN Wajib Pajak tertentu yakni nilai restitusi atau jumlah lebih bayar PPN paling banyak Rp 1 miliar untuk Wajib Pajak badan, dan nilai restitusi kelebihan pembayaran pajak paling banyak Rp 100 juta untuk Wajib Pajak pribadi.
Melalui aturan teranyar, pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak hingga Rp 5 miliar. Sejatinya, proses restitusi pajak bisa berlangsung lebih cepat karena hanya dilakukan penelitian, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi pemeriksaan di kemudian hari apabila ditemukan data baru.
Secara khusus, ketentuan restitusi PPN diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam beleid ini disebutkan kalau jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, maka DJP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) setelah dilakukan pemeriksaan.
Nantinya, proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak diawali dengan penyerahan pengajuan restitusi pajak, yang dilanjutkan penelitian terhadap permohonan restitusi itu oleh DJP. Setelah dilakukan penelitian, DJP akan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) dan permohonan pengembalian pendahuluan PPN ini paling lama 1 bulan.
Sedangkan untuk proses restitusi biasa, proses restitusi akan dilakukan melalui pemeriksaan. Jangka waktu pemeriksaan paling lama 12 bulan sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap.
Mekanisme
Adapun mekanisme pengajuan restitusi PPN dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku, dengan proses sebagai berikut:
1. Mengajukan permohonan restitusi PPN dengan mengisi SPT Masa PPN dengan memberi tanda silang pada kolom “Dikembalikan” (restitusi). Jika kolom “Dikembalikan” (restitusi) pada SPT Masa PPN tidak diisi, maka PKP bisa mengajukan surat permohonan secara terpisah.
2. PKP bisa mengajukan permohonan restitusi PPN ke DJP melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan.
3. Setelah dilakukan pengecekan, DJP akan menerbitkan SKPLB.
4. SKPLB diterbitkan oleh DJP paling lambat 12 bulan sejak surat permohonan diserahkan dan diterima secara lengkap, kecuali pada kondisi tertentu sudah ditetapkan berdasarkan keputusan DJP.
5. Apabila dalam 12 bulan sejak permohonan restitusi PPN DJP belum memberikan keputusan, artinya permohonan restitusi PPN dikabulkan dan SKPLB tersebut akan diterbitkan dalam waktu paling telat 1 bulan setelah jangka waktunya berakhir.
Contoh
Sebagai contoh, suatu PKP bernama PT Maju Jaya pada masa pajak Agustus 2022 membuat faktur pajak keluaran senilai Rp 100 juta, sehingga PT Maju Jaya telah memotong/memungut PPN pada masa pajak ini sebesar nilai tersebut.
Di sisi lain, jumlah nilai dari faktur pajak masukan dari transaksi pembelian barang/jasa kena pajak pada masa pajak Agustus 2022 mencapai Rp 200 juta, maka dari itu PT Maju Jaya dipotong PPN dengan total sebesar Rp 200 juta pada saat membeli barang/jasa pada masa pajak tersebut.
Sebagai PKP, PT Maju Jaya wajib menyetorkan pemungutan PPN tersebut ke kas negara. Namun, sebelum menyetorkan/membayarkan pemungutan PPN, PT Maju Jaya harus tahu jumlah PPN Terutang yang disetorkan ke kas negara dengan menghitung besar PPN Terutang. Caranya, mengurangkan Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan. Sehingga, setelah dihitung, PPN Terutang diketahui senilai (-) Rp 100 juta.
Karena PPN yang dipungut PT Maju Jaya lebih besar dibanding dengan PPN yang telah dibayarkan pada saat membeli barang/jasa lebih besar, maka PPN Terutang PT Maju Jaya dinyatakan PPN Lebih Bayar. Atas dasar ini, perusahaan tersebut dapat melakukan restitusi PPN.
Comments