Menu
in ,

Regulasi Perpajakan Harus Memitigasi Perubahan Iklim

Regulasi Perpajakan Harus Memitigasi Perubahan Iklim

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan B Najamudin mengusulkan agar regulasi perpajakan harus memiliki orientasi pada agenda mitigasi perubahan iklim. Misalnya, pemerintah dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor pertambangan dan memberi insentif perpajakan kepada sektor pertanian atau sektor usaha berbasis ekonomi berkelanjutan.

“Kita menyadari bahwa pajak masih menjadi sumber pendapatan utama negara saat ini. Sebagai salah satu instrumen fiskal, pajak berperan penting dalam pembangunan negara dan mendukung jalannya pemerintahan. Tapi ketergantungan terhadap pajak harus disertai dengan upaya-upaya pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan. Sebab Indonesia memiliki potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang sangat menjanjikan,” kata Sultan, pada Senin (20/9).

Ia menyadari, penting bagi pemerintah mencari solusi alternatif untuk mencapai target penerimaan pajak di tengah situasi pandemi ini. Namun, di sisi lain negara juga tidak boleh terlihat terlalu memaksakan kehendak menghimpun pajak dari rakyat yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi akibat COVID-19.

“Menurut kami besaran pajak pendapatan sebaiknya ditetapkan sesuai dengan jenis sumber pendapatan organisasi maupun individu. Regulasi perpajakan korporasi tambang dan sejenisnya harus ditetapkan secara lebih ketat daripada pajak usaha pertanian dan peternakan yang dilakukan dengan sistem yang ramah lingkungan dan agenda mitigasi perubahan iklim,” kata Sultan.

Singkatnya, ia ingin setiap unit usaha yang mendorong tercapainya agenda pengendalian perubahan iklim wajib diberikan privilege insentif pajak.

“Harus ada kategorisasi pajak yang barometernya adalah memiliki itikad baik dalam prinsip ramah lingkungan,” tambah Sultan.

Selain itu, ia mendorong agar pemerintah dapat menetapkan bea masuk produk impor, khususnya produk pangan. Sultan menilai, kebijakan ini akan lebih menguntungkan bagi penerimaan negara sekaligus mampu melindungi hasil produksi petani lokal.

“Jika kita meyakini bahwa pajak benar-benar diperuntukan bagi proses pembangunan nasional, maka sebaiknya negara harus berbagi peran dengan pelaku usaha dan masyarakat dalam agenda pembangunan,” katanya.

Secara simultan, pemerintah juga harus menyiapkan sebuah dasar hukum tentang tanggung jawab sosial perusahaan, yang memungkinkan setiap korporasi memiliki keterkaitan dengan produk dan jasa pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Jangan sampai program tanggung jawab sosial tidak terukur dan nihil kebermanfaatan jangka panjang.

“Paradigma corporate social responsibility (CSR) harus segera diarahkan menjadi sebuah solusi yang saling menguntungkan bagi kedua institusi usaha dengan mekanisme creating shared value (CSV),” usul mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bengkulu ini.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version