Menu
in ,

Praktisi Dorong Pemerintah-DPR Rumuskan Aturan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Praktisi perpajakan dari TaxPrime Muhamad Fajar Putranto mendorong agar pemerintah dan DPR RI merumuskan peraturan pajak yang berkesinambungan dengan kondisi Indonesia dan dunia di masa mendatang. Hal itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panja (RDPUP) tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) KUP bersama Komisi XI DPR RI secara virtual pada Rabu (14//7/21).

“Kami mendorong bagaimana rumusan peraturan pajak sustainable tax law itu bisa diimplementasikan dengan melihat kondisi Indonesia. Maka sebaiknya bahwa begitu kita menetapkan dengan melihat dulu keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Jadi, kita enggak mesti ikut-ikutan juga dengan negara lain,” ujar Managing Partner Taxprime ini.

Fajar menyarankan agar DPR dan pemerintah dalam merumuskan peraturan pajak juga melihat keunggulan kompetitif Indonesia dalam menentukan kebijakan peraturan perpajakan. Pertama, kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia yang melimpah. Kedua, sumber daya manusia (SDM) yang juga banyak dan dalam usia produktif. Fajar mengatakan, SDM Indonesia merupakan pasar potensial bagi dunia bisnis di kancah global. Namun, di sisi lain merupakan masalah sosial yang harus diatasi jika menjadi ledakan pengangguran ketika kondisi usaha sedang sulit.

“Saat ini dunia usaha sedang terpuruk akibat Covid-19. Penerimaan pajak turun 18 persen lebih. Jadi bagaimana kita sustaining competitiveness kita dalam era disruption sekarang. Disrupsi dari pandemi dan disrupsi dari perubahan bisnis yang terjadi di ranah global. Ini yang harus disikapi, jadi tidak sekadar tambal sulam, tetapi kita dalami dulu bagaimana global akan bergerak, dan arahnya ke mana,” kata Fajar.

Fajar menekankan, rencana dan arah kebijakan paska-pandemi harus ditentukan, dengan tepat, termasuk upaya mengantisipasi kemungkinan adanya disrupsi yang lain. Ia berharap, ke depan undang-undang akan fokus ke penerimaan, tetapi di sisi lain juga meningkatkan puchasing power rakyat Indonesia. Misalnya, bagaimana mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, mendatangkan investasi, dan perdagangan luar negeri yang menjadi fokus Indonesia ke depan. Menurut Fajar, pajak bisa hadir untuk mempercepat upaya tersebut, tetapi kebijakan yang tidak tepat justru akan memperlambat.

Fajar mengatakan, Indonesia dengan kelebihan dan kekurangan yang ada bisa menjadi ekosistem bisnis dari hulu ke hilir untuk dunia. Asalkan pemerintah membuat kebijakan tepat menuju ke arah tersebut. “Yang penting goal-nya dulu yang harus kita tetapkan yaitu menjadi pusat dari ekosistem bisnis bagi dunia.”

Saat ini, lanjut Fajar, dunia tengah bergerak ke arah green economy, green energy. Sementara banyak sumber daya yang tersedia di Indonesia yang dibutuhkan dunia. Mulai dari SDA, maupun SDM-nya sebagai pasar potensial.

“Jadi (arahnya) bagaimana Indonesia menjadi pusat ekosistem bisnis dari hulu ke hilir, untuk dunia. Yang eksisting adalah SDA, lalu modal SDM sebagai tenaga kerja, juga sebagai potential market untuk perdagangan dunia, dengan penduduk  mencapai 270 juta orang,” kata Fajar.

Sementara di dunia digital, Fajar mengatakan, Indonesia menempati urutan pertama untuk tujuan bisnis digital. Sebagai negara berdaulat , Fajar menilai Indonesia belum sepenuhnya memiliki kedaulatan digital atau digital sovereignty. Ini harus disadari agar pemerintah bisa merumuskan bagaimana peraturan pajak bisa berperan di dalamnya. Fajar menilai, digital sovereignty di Indonesia masih sangat kurang, baik untuk sektor intangible property maupun tangible property.

“Yang intangible property sudah diatur dalam Perppu, sudah ditetapkan. Tetapi semangatnya masih fokus pada pajak-pajak yang akan dipungut. Sebenarnya kalau kita bicara memajaki barang yang enggak kelihatan, barang yang di-deliver melalui sistem itu perlu transparansi. Sehingga pemungutan itu tidak dilakukan secara manual. Memajaki yang digital maka sistem kita juga harus digital,” tegas Fajar.

Ia mencontohkan sistem perdagangan yang dilakukan App Store (Apple) atau Aliexpress. Siapa pun bisa belanja dari luar negeri, membeli lagu atau aplikasi yang transaksinya bisa dilakukan lintas platform asalkan bertukar antarmuka pemrograman aplikasi (API) sebagai jembatan komunikasi platform itu.

“Dengan API itu Pajak (DJP) atau Bea Cukai enggak perlu sibuk-sibuk mengecek berapa harga barang tersebut untuk menentukan nilai pajaknya. Sebab, ketika belanja itu dibayar, maka data itu, dengan adanya digital sovereignty di kita, itu bisa langsung masuk. Jadi kita enggak perlu lagi mengecek bagaimana pengawasan itu dilakukan. Digital sovereignty di Indonesia masih lemah sehingga perlu diatur lagi. Jadi digital sovereignty itu harus ada dan menjadi alat mengatur,” kata Fajar.

Fajar juga membahas soal kekayaan alam di Indonesia. Bukan semata-mata soal SDA , seperti mineral, batu bara, tetapi saat ini bagaimana dunia perbankan tengah bergerak ke arah green energy. Indonesia bukan hanya sebagai negara yang hanya punya SDA berbasis fosil tetapi juga kita memiliki energi alternatif dan energi baru terbarukan. Mulai dari cahaya matahari, energi kelautan, energi hidro dan lain-lain. Belum lagi agrikultur, geotermal, angin, perikanan, dan masih banyak lagi.

“Nah, atas SDA itu tujuan Indonesia mau ke mana? Kalau yang kami dorong adalah Indonesia bisa memberi makan dunia. Indonesia feed the world. Kita bisa swasembada pangan, dan pajak itu bisa hadir mendorong upaya itu,” kata Fajar. Ia optimistis, dengan kelebihan SDA dan SDM yang ada, Indonesia bisa memberi makan dunia jika memang kebijakan perpajakan mengarah ke sana.

Misalnya, Indonesia memilih tidak memajaki di salah satu rantai suplai bisnis yang ada (memberi insentif) tetapi atas insentif itu bisa menumbuhkan rantai suplai berikutnya. Peraturan Perpajakan dapat dipilah-pilah dari rantai suplainya.

“Misal, tax holiday atau tax insentive kita lihat di masing-masing rantai suplai, apakah memang membutuhkan insentif di masing-masing sektor. Barang yang banyak dicari ya kita enggak usah kasih insentif. Okelah kalau misalnya dia bisa menyerap masalah pengangguran di Indonesia. Nanti pelaksanaan misalnya, berapa banyak yang bisa dia serap itu dikasih insentifnya,” kata Fajar memberi contoh.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version