Praktisi Beri ”Tips” Mitigasi Risiko Pajak di Era ”Core Tax”
Pajak.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia resmi menerapkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau core tax mulai 1 Januari 2025. Core tax akan mengintegrasikan 21 proses bisnis administrasi perpajakan, termasuk menerima data/informasi dari kementerian/lembaga (K/L) lain. Untuk itu, Managing Director Falcon Strategic Consulting Hidajat Hoesni memberikan tips mitigasi risiko pajak di era core tax.
”Pertama dan yang utama, Wajib Pajak harus aware dengan implikasi penerapan core tax. Dalam melaporkan pajaknya, perusahaan atau Wajib Pajak harus lebih mematuhi regulasi yang berlaku. Karena DJP sudah memiliki data dan informasi dari pihak-pihak terkait atau lawan transaksi Wajib Pajak. Data dan informasi dari pihak-pihak itu bisa masuk ke core tax tanpa kita sadari,” ungkap Hidajat kepada Pajak.com dalam acara seminar bertajuk ’PPN di Era Coretax: Implementasi, Mekanisme, dan Simulasi’ yang digelar Falcon Strategic Consulting di Hotel Raffles, Jakarta (23/1).
Dengan demikian, Wajib Pajak harus melaksanakan self assessment secara penuh—100 persen. Meski begitu, Wajib Pajak juga harus menghapus paradigma bahwa core tax ini membuat sistem perpajakan di Indonesia berubah menjadi official assessment.
”Upaya-upaya self assessment negatif harus dihindari,” tandas Hidajat.
Seperti diketahui, core tax didesain mengintegrasikan 21 proses bisnis, mulai dari pendaftaran, pengawasan kewilayahan atau ekstensifikasi, pengelolaan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan/masa, pembayaran, data pihak ketiga, exchange of information (EoI), penagihan, taxpayer account management (TAM), dan compliance risk management (CRM), pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan, business intelligence, document management system, data quality management, keberatan dan banding, non-keberatan, pengawasan, penilaian, layanan edukasi, dan knowledge management.
”Dengan integrasi dalam core tax ini, Wajib Pajak memang diharapkan untuk bisa menyesuaikannya. Kami, sebagai konsultan pajak juga berkomitmen untuk terus membantu DJP dalam memberikan sosialisasi dan informasi kepada Wajib Pajak. Kita akan terus sosialisasikan mengenai core tax ini kepada masyarakat melalui acara-acara selanjutnya,” ujar Hidajat.
Risiko Pajak
Adapun risiko perpajakan dari ketidakpatuhan, antara lain sanksi denda administrasi, Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), hingga pemeriksaan yang dapat mengakibatkan terjadinya sengketa pajak.
Hidajat mengingatkan, ”risiko pajak ini justru akan meningkatkan cost of compliance dari Wajib Pajak itu sendiri”.
Pertukaran Data dan Informasi di Indonesia
Terkait dengan pertukaran data dan informasi untuk kepentingan perpajakan, sejatinya Indonesia telah menerapkannya sejak penerbitan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
Setelahnya, terbitlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7 Tahun 2017 s.t.d.t.d PMK Nomor 19 Tahun 2018 sebagai petunjuk teknis mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
Dalam regulasi itu, Automatic Exchange of Information (AEoI) didefinisikan sebagai kegiatan untuk menyampaikan, menerima, dan/atau memperoleh informasi keuangan yang berkaitan dengan perpajakan berdasarkan perjanjian internasional yang bertujuan untuk:
- Mencegah penghindaran pajak;
- Mencegah pengelakan pajak;
- Mencegah penyalahgunaan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) oleh pihak-pihak yang tidak berhak; dan
- Mendapatkan informasi terkait pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Melalui aturan tersebut, instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) harus memberikan data dan informasi untuk kepentingan perpajakan kepada DJP.
Sementara itu, informasi Wajib Pajak yang bisa dipertukarkan dalam AEoI antar-negara, antara lain terkait berbagai jenis penghasilan, seperti dividen, bunga, royalti, gaji, dan pensiun. Informasi yang dipertukarkan tersebut biasanya dihimpun di negara asal secara rutin melalui pelaporan transaksi oleh payer, yakni lembaga keuangan, pemberi kerja, dan lain-lain.
AEoI juga dapat digunakan untuk mengirim jenis informasi penting lain, seperti perubahan tempat tinggal, pembelian atau keberadaan harta tak bergerak, investasi di luar negeri, dan sebagainya.
Comments