PPh 21 yang dipungut Aplikator Ojol Dipertanyakan
Pajak.com, Jakarta – Wakil Ketua Komisi V DPR RI Ridwan Bae mempertanyakan soal potongan Pajak Penghasilan (PPh) 21 yang dipungut aplikator pengemudi ojek on-line (ojol) sebesar 6 persen, yang dilakukan tiga aplikator transportasi daring. Hal itu disampaikan Ridwan selaku pimpinan sidang dari Fraksi Golkar, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi V DPR RI bersama Direktur Utama PT GoTo Gojek Tokopedia, PT Grab Teknologi Indonesia, dan PT Teknologi Perdana Indonesia (Maxim).
Adapun rapat ini membahas soal Keputusan Menteri Perhubungan yang mengatur tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan transportasi on-line yang digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Ridwan mengungkapkan, Koalisi Driver Online (KADO) pada 21 September 2022 menyampaikan aspirasi beserta aduan bahwa mereka selama ini telah dibebankan PPh Pasal 21 sebesar 6 persen. Ia Ridwan pun mempertanyakan payung hukum pengenaan PPh Pasal 21 tersebut dan bukti setor pungutan yang dipotong dari para pengemudi.
“Mereka itu ditarik pajak penghasilan dari PPh 21 itu enam persen, tetapi dasar penarikannya apa, kemudian bukti setornya harusnya diberikan kepada driver tetapi tidak diberikan kepada driver. Nah, kalau memang bukti setornya tidak diberikan, lalu uangnya dikemanakan kira-kira?” kata Ridwan di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta Selatan, dikutip Pajak.com, Rabu (9/11).
Ia pun menyoroti alur atau proses pengenaan PPh Pasal 21 tersebut lantaran untuk melakukan pemotongan perusahaan aplikator mesti mengetahui Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) masing-masing pengemudi, kemudian kewajiban perusahaan untuk memberikan bukti setor kepada karyawan yang dipotong pajak.
“Jadi ada koreksi dari pengemudi bahwa mereka dipotong PPh Pasal 21 enam persen. Jumlahnya enam persen itu diambil tetapi bukti setornya tidak ada diserahkan kepada pengemudi. Ditambah lagi tidak memakai dasar NPWP sebagai tempat penyaluran atau sebagai bukti pembayaran mereka di Ditjen Pajak. Kalau tidak diberikan kepada mereka buktinya dan juga tidak disetorkan (pajaknya) kepada negara melalui data NPWP tadi, sekarang ke mana uangnya yang enam persen tadi?” tanyanya.
Setali tiga uang, Anggota Komisi V DPR RI Hamka Baco Cady ikut menyoroti tentang pajak penghasilan tersebut. Menurutnya, di sini ada dua jenis pajak penghasilan yang harus disetorkan perusahaan aplikator kepada negara yakni PPh Pasal 21 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Badan.
Pasalnya, lanjut Hamka, ke depan akan diberlakukan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai NPWP, sehingga setiap Wajib Pajak harus melaksanakan administrasi kewajibannya secara benar.
“Definisikan dulu, pendapatan itu apakah pendapatan badan atau pendapatan perorangan. Yang Bapak laporkan apakah PPh Badan ataukah PPh 21 perorangan. Ini penting, ingat semua orang yang memperoleh penghasilan termasuk driver-nya itu harus ada pelaporannya,” tegasnya.
Menjawab hal itu, Presiden Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata mengemukakan bahwa PPh Pasal 21 yang dibebankan kepada pengemudi dikenakan kepada insentif yang diberikan oleh Grab Indonesia. Jadi, bukanlah penghasilan yang didapat pengemudi secara langsung dari para penumpangnya.
“Yang kami potong itu adalah pendapatan mitra pengemudi yang datang dari kami berupa insentif,” ucap Ridzki.
Ia pun memastikan pemotongan tersebut telah disetorkan kepada negara, dan ada bukti setor yang bisa diunduh oleh mitra driver di aplikasi.
“Bukti pemotongan tersebut kami setor ke negara, dan bisa di-download. Jadi jelas bukti pemotongannya dan itu ke mana disetorkan ke mana, itu ada bagi mereka. Memang itu komponen yang unik yaitu pendapatan mereka yang didapatkan dari perusahaan aplikasi. Insentif diberikan dari perusahaan aplikasi, bukan dari pelanggan, dan itu kami ambil dan kami setor ke negara,” ungkapnya.
Selanjutnya, Ridzki juga menjelaskan jumlah potongan 6 persen lantaran tidak ada NPWP yang disetorkan para pengemudi. Jika memiliki NPWP, maka PPh yang dipotong sebesar 5 persen.
Sementara itu, Chief Policy and Government Relations PT Goto Gojek Tokopedia tbk Dyan Shinto E. Nugroho menyebut, pihaknya tidak melakukan pemotongan seperti yang dimaksudkan karena status para pengemudi merupakan mitra dan bukan pegawai.
“Kami dari Gojek Indonesia tidak melakukan atau memiliki program terkait dengan penarikan dan pemungutan pajak PPh untuk mitra pengemudi, karena hubungan antara Gojek dan mitranya adalah hubungan kemitraan bukan sebagai employee atau pegawai di mana ini masuk dan diatur dalam ketentuan pasal 21 UU PPh,” jelasnya.
Dyan menambahkan, Gojek berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) untuk membantu memberikan sosialisasi tentang kewajiban perpajakan atas pekerja lepas kepada para pengemudinya.
“Yang kami lakukan adalah melakukan sosialisasi dan bekerja sama secara dekat dengan Ditjen Pajak untuk melakukan edukasi dan cara penghitungan, termasuk juga pendaftaran NPWP bagi para pengemudi kami. Karena banyak pengemudi yang memang hanya melakukan ini secara freelance atau dalam waktu free time mereka,” ucap Dyan.
Ia pun menegaskan bahwa perusahaan telah membayar kewajiban perpajakan sebagaimana aturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
“Terkait dengan kepatuhan pajak perusahaan, pajak perusahaan sudah dibayar sepenuhnya dan sudah dilakukan audit yang dilakukan oleh auditor independen sebelum kami melakukan IPO. Ini merupakan syarat wajib yang harus kami lakukan selaku perusahaan Indonesia sebelum menerima persetujuan dari OJK untuk dapat melakukan penawaran perdana di pasar saham Indonesia, sesuai ketentuan perundang-undangan Republik Indonesia,” pungkasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Legal Counsel Maxim Jerio Rorimpandey. Ia menyebut tidak ada pemotongan PPh 21 sebesar 6 persen terhadap mitra pengemudinya.
“Idem dengan Gojek, kami juga tidak melakukan pemungutan tersebut, karena kami sistemnya masih kemitraan dan itu di luar kewenangan kami,” tandas Jerio.
Comments