in ,

Penerimaan Pajak 2025 Terancam “Shortfall” Hingga Rp140 Triliun, Ini Penjelasannya!

Penerimaan Pajak 2025 “Shortfall”
FOTO: IST

Penerimaan Pajak 2025 Terancam “Shortfall” Hingga Rp140 Triliun, Ini Penjelasannya!

Pajak.com, Jakarta – Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute mengungkapkan bahwa penerimaan pajak Indonesia pada 2025 berpotensi mengalami shortfall hingga Rp140 triliun.

Kondisi ini dipicu oleh tren penurunan penerimaan dalam beberapa bulan terakhir, serta tekanan fiskal akibat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terus melebar. Hingga Mei 2025, penerimaan pajak tercatat turun 10,13 persen, dan pemerintah dihadapkan pada pilihan kebijakan perpajakan yang semakin sulit.

Berdasarkan data IEF Research Institute, hingga Mei 2025 APBN mencatat defisit sebesar Rp21 triliun atau setara 0,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit terjadi karena belanja negara mencapai Rp1.016,3 triliun, lebih tinggi dari pendapatan negara sebesar Rp995,3 triliun.

Baca Juga  Dorong Ekspor dan Serap Tenaga Kerja, Dua Perusahaan Dapat Fasilitas Kawasan Berikat di Jawa Tengah

Sementara itu, belanja pemerintah pusat baru menyentuh Rp694,2 triliun dari total anggaran APBN 2025 yang ditetapkan sebesar Rp3.621,3 triliun.

Untuk menutup defisit, pemerintah telah menarik utang baru senilai Rp349,3 triliun per Mei 2025. Angka ini melonjak 164 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Rp132,2 triliun).

Sebagian dari pembiayaan utang ini dialokasikan untuk program prioritas seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan ketahanan pangan. Walaupun utang luar negeri mencapai 431,55 miliar dolar AS, rasio utang terhadap PDB masih terkendali di angka 30,3 persen.

Namun, sisi penerimaan negara masih menunjukkan kinerja yang negatif. Pada Februari 2025, penerimaan pajak tercatat anjlok hingga 30,1 persen menjadi Rp187,8 triliun.

Hingga Mei, tren penurunan masih terjadi, dengan total kontraksi sebesar 10,13 persen. IEF Research Institute memproyeksikan bahwa jika tidak ada perubahan kebijakan signifikan, penerimaan pajak hingga akhir tahun bisa meleset dari target sebesar Rp120-140 triliun.

Baca Juga  Tarif Pajak 10 Persen untuk Lapangan Padel di Jakarta Resmi Berlaku, Ini Penjelasannya!

Direktur Eksekutif IEF Research Institute Ariawan Rahmat menilai bahwa kondisi ini merupakan dampak dari berbagai tekanan ekonomi dan kelemahan sistem administrasi perpajakan.

“Penurunan harga komoditas ekspor, pelemahan ekonomi, serta belum optimalnya sistem administrasi pajak [Coretax] pada awal tahun lalu turut memperparah tekanan terhadap pendapatan negara. Situasi ini akan memaksa pemerintah mempertimbangkan kebijakan yang lebih agresif di bidang perpajakan,” ujar Ariawan dikutip Pajak.com pada Rabu (25/6/25).

Mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 dan UU Nomor 28 Tahun 2007, pemerintah memiliki wewenang untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga 15 persen, memperluas basis pajak, serta memperketat pengawasan melalui pemeriksaan dan penagihan. Wacana kenaikan PPN menjadi 12 persen yang sempat tertunda kini dinilai kembali relevan untuk dikaji ulang.

Baca Juga  Asosiasi Minta Implementasi Pemungutan Pajak oleh “Marketplace” Diundur Hingga 2027, Ini Tanggapan DJP

Meski demikian, Ariawan mengingatkan agar langkah tersebut tidak dilakukan secara tergesa-gesa, mengingat daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dan pentingnya menjaga konsumsi domestik.

Sebagai langkah yang lebih moderat, pemerintah disarankan memperluas basis PPN melalui revisi atas negative list serta memperketat pengawasan terhadap transaksi daring dan sektor digital yang berisiko tinggi tidak tercatat (unrecorded economy).

“Strategi ini saya rasa lebih moderat dan tidak memukul konsumsi secara langsung,” jelasnya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *