Pajak.com, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah akan menerapkan pajak karbon untuk sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara mulai 1 Juli 2022 mendatang. Aturan ini sejalan dengan amanat UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai upaya mitigasi perubahan iklim global.
“Di bulan Juli 2022 Indonesia merencanakan penerapan cap and trade untuk sektor pembangkit batu bara,” kata Airlangga dalam Webinar “Investasi Berkelanjutan dan Perdagangan Karbon: Peluang dan Tantangan” di Jakarta, Senin (20/6).
Airlangga menyampaikan, dengan skema ini pembangkit yang mengeluarkan emisi berlebih akan dikenakan biaya tambahan. Pemerintah akan menentukan batas atas pelepasan emisi di udara. Jika emisi yang dikeluarkan melebihi batas maka akan diberikan dua pilihan, yakni membeli karbon di pasar karbon atau membayarkan kelebihannya dengan pajak.
Seperti diketahui, pengenaan pajak karbon merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendorong masyarakat beralih ke ekonomi hijau. Untuk itu, pemerintah mendorong penggunaan pasar karbon yakni bisnis yang rendah karbon dan ramah lingkungan.
Untuk memberlakukan aturan ini, pemerintah pun tengah menyusun berbagai aturan teknis pelaksanaannya. Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengatakan, aturan teknis pelaksanaan pajak karbon yang dimaksud adalah tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon. Sementara, aturan teknis lainnya, seperti batas atas emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan nilai ekonomi karbon pada pembangkit tenaga listrik akan ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Agar instrumen pengendalian iklim berjalan optimal, pemerintah juga sedang menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres 98/2021, antara lain terkait tata laksana penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Nationally Determined Contributions (NDC) di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Febrio menjelaskan, tujuan utama pengenaan pajak karbon bukan hanya menambah penerimaan APBN semata, melainkan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
Di sisi lain, proses penyusunan peta jalan atau roadmap pajak karbon perlu memerhatikan peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon di antaranya akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam NDC, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru terbarukan, dan keselarasan dengan peraturan lainnya.
Comments