Menu
in ,

Pemerintah Cari Formula Terbaik ‘Tuk Kerek Rasio Pajak

Pemerintah Cari Formula Terbaik ‘Tuk Kerek Rasio Perpajakan

FOTO: IST

Pajak.comJakarta – Pemerintah masih mencari formula kebijakan pajak yang adil melalui reformasi peraturan perpajakan, dengan salah satu tujuannya untuk mengerek rasio pajak yang terus amblas di beberapa tahun belakangan. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo merasa prihatin karena tren rasio pajak yang cenderung turun. Salah satu sebabnya karena peningkatan penerimaan tidak sebanding dengan peningkatan kue ekonomi nasional.

“Tantangan kita sangat besar di sini, bagaimana meningkatkan rasio pajak, dan di sisi lain harus menjaga jangan sampai menambah beban secara eksesif sehingga memberatkan masyarakat,” kata Yustinus di Jakarta, Sabtu (26/6).

Ia memaparkan, rasio perpajakan yang merupakan perbandingan penerimaan perpajakan pusat dengan PDB di tahun 2021 hanya sebesar 8,18 persen; sedangkan rasio pajak yang mencakup penerimaan pajak pusat, SDA Migas, pertambangan umum pada SDA Migas berbanding dengan PDB di tahun 2021 mencapai 8,74 persen.

Padahal, menurut data yang ia sajikan, rasio pajak di tahun 2016 menyentuh level 10,36 persen; lalu merosot ke level 9,89 persen di 2017. Sementara di tahun 2018, tax ratio naik tipis ke 10,24 persen. Lalu di tahun 2019, tax ratio kembali turun ke posisi 9,76 persen, dan menurun menjadi 8,31 persen pada 2020.

Merosotnya tax ratio tahun lalu tidak lepas dari dampak pandemi Covid-19 pada hampir seluruh sektor perekonomian, serta peningkatan pemberian stimulus perpajakan. Tren rasio pajak relatif konstan dari 2016-2019 dengan sedikit penurunan. Ini merupakan logika perpajakan keseluruhan, bagaimana pertumbuhan penerimaan pajak semakin mencerminkan kondisi ekonomi dan struktur ekonomi.

Di sisi lain, pemerintah pun menghadapi sejumlah tantangan dalam meningkatkan rasio pajak seperti minimnya basis pajak dan belum optimalnya kepatuhan pembayaran Wajib Pajak. Sebetulnya, jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi semakin bertambah, artinya semakin baik kesadaran masyarakat untuk menjadi WP. Namun, struktur penerimaan pajak di Indonesia di tahun 2020 masih didominasi oleh Pajak Penghasilan (PPh) Badan yakni Rp 593,90 triliun, dan PPN mencapai Rp 448,40 triliun. Sementara PPh OP terbilang masih rendah, yakni di angka 9 persen.

Yustinus mengatakan, rasio pajak meningkat sekaligus iklim investasi dan bisnis yang kondusif adalah yang paling ideal, dan tentu menjadi pilihan pemerintah.

“Tapi kalau diminta cari jalan tengah, kita ingin rasio pajak meningkat secara moderat, dan tetap bisa memberikan fleksibiltas dan iklim yang baik untuk bisnis dan investasi,” imbuhnya.

Untuk itu, selama ini pemerintah tetap mengeluarkan banyak stimulus pajak agar eknomi tetap terjaga, dan tidak akan menambah beban pajak kepada masyarakat—terutama untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah—karena itu akan menjadi hal yang kontradiktif.

“Dari waktu ke waktu, kontribusi penerimaan pajak semakin besar. Kita bersyukur dengan pajak kita semakin mandiri, jadi beban pajak harus dihitung betul-betul, jangan sampai melewati batas. Beban pajak harus adil, tidak terlalu banyak objek pungutan, dan tidak menggunakan tarif yang tinggi,” jelasnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa Indonesia ingin menuju sistem pajak yang sehat karena efektif, optimal, dan adaptif. Selain itu, memiliki sistem pajak yang berkeadilan karena memberikan kepastian perlakuan pemajakan dan dukungan administratif yang mempermudah kepatuhan; serta memberikan perlindungan terhadap masyarakat miskin dan rentan, dan menyasar kepada kelompok yang mampu untuk berkontribusi lebih besar.

“Kita sedang membangun ekosistem perpajakan yang lebih baik, bagaimana hubungan WP dan otoritas pajak tidak berat sebelah tetapi semakin setara. Ini perlu kita cermati bersama, bagaimana ada kesetaraan sehingga tax intermediaries atau pihak-pihak yang membantu meningkatkan kepatuhan dan mendorong kontribusi pajak,” pungkasnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version