in ,

Pemerintah Beri Insentif Perpajakan 1,5 Persen dari PDB

Insentif Perpajakan
Foto: Aprilia Hariani

Pemerintah Beri Insentif Perpajakan 1,5 Persen dari PDB

Pajak.com, Cikarang – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu menegaskan, pemerintah akan berhati-hati dan mempertimbangkan dengan saksama pemberian insentif perpajakan untuk dunia usaha. Namun, setiap tahunnya pemerintah telah memberikan insentif perpajakan sekitar 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Tahun lalu (2022) pemerintah sudah memberikan (insentif perpajakan di atas Rp 300 triliun. Mayoritas belanja perpajakan kita untuk sektor usaha, baik yang UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) maupun non-UMKM. Kita lihat sektornya belanja perpajakan yang dinikmati oleh kalangan usaha adanya di sektor manufaktur. Insentif yang diberikan pemerintah sejatinya akan mendorong sektor manufaktur agar lebih produktif lagi,” jelas Febrio kepada Pajak.com, di sela-sela acara Kunjungan dan Dialog Menteri Keuangan bersama Pelaku Usaha Pengguna Jasa di Cikarang Dry Port (CDP), (27/1).

Mengacu pada Laporan Belanja Perpajakan 2021 yang dirilis BKF akhir tahun 2022, belanja perpajakan tahun 2021 mencapai Rp 299,1 triliun atau 1,76 persen dari PDB atau meningkat sebesar 23,8 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp 241,6 triliun atau 1,56 persen dari PDB. Nilai itu juga termasuk realisasi insentif perpajakan dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mencapai Rp 23 triliun.

Baca Juga  SPT Lebih Bayar Langsung Diperiksa? Ini Penjelasan DJP

“Capaian nilai belanja perpajakan tahun 2021 tersebut relatif efektif dalam mencegah kejatuhan kontraksi ekonomi yang lebih dalam. Pada tahun 2021, kinerja ekonomi mampu bangkit dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 3,7 persen. Perekonomian Indonesia sudah kembali pulih yang ditandai oleh output PDB 2021 yang berada 1,6 persen di atas tingkat prapandemi (2019),” tulis laporan BKF itu.

Data terbaru, berdasarkan pemaparan Kemenkeu yang dihimpun (28/1), program Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) pada 2020 hingga 2022 mencapai Rp 24 triliun.

Febrio kembali menegaskan, kebijakan insentif perpajakan pada 2022 dan 2023 diarahkan untuk menjawab berbagai tantangan baru. Kebijakan insentif perpajakan dioptimalkan untuk mendukung akselerasi transformasi perekonomian dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Secara umum, pada 2023, reformasi belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan dijalankan dengan peningkatan kualitas belanja yang ditempuh melalui pengendalian belanja yang lebih efisien, lebih produktif, dan menghasilkan multiplier effect yang kuat terhadap perekonomian, serta efektif untuk mendukung program-program pembangunan prioritas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Baca Juga  Ketua RT/RW Jadi Agen Pajak, Bantu Warga Lapor SPT dan Pemadanan NIK - NPWP

“Belanja perpajakan pun diharapkan dapat memiliki multiplier effect yang besar serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengembangkan UMKM,” tambah Febrio.

Pada kesempatan yang sama, Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan, insentif perpajakan yang diberikan selama pandemi akan diberikan kepada pengusaha yang membutuhkan atau belum masih terpuruk dari dampak pandemi. Artinya, jika sudah tidak diperlukan oleh dunia usaha, maka pemerintah tidak akan memperpanjang insentif itu.

Adapun insentif perpajakan diberikan selama pandemi (2020-2022), yaitu penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dari 25 persen menjadi 22 persen, serta skema insentif pajak lainnya bagi sektor industri yang terdampak pandemi. Skema insentif pajak tersebut, antara lain PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), PPh final UMKM DTP, pembebasan PPh Pasal 22 impor, pembebasan bea masuk, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipercepat, serta PPN atas sewa unit di mal DTP.

Baca Juga  Keuntungan Memadankan NIK dan NPWP bagi Wajib Pajak

Selain itu, ada pula insentif untuk mendorong konsumsi kelas menengah, berupa Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) DTP untuk kendaraan bermotor dan PPN DTP untuk rumah. Bahkan, setelah program PC-PEN berakhir (2022), kebijakan tarif PPh badan sebesar 22 persen tetap berlaku, termasuk insentif berupa batas peredaran bruto atau omzet tidak kena pajak senilai Rp 500 juta pada Wajib Pajak orang pribadi UMKM.

“Waktu tahun 2020 kemarin pandemi, ada insentif untuk mengungkit ekonomi. Kalau dirasa masih diperlukan akan dikasih. Tapi kalau dirasa sudah cukup scale down tidak akan dilanjut,” kata Suryo.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *