Menu
in ,

Pembahasan KUP, Presiden Sudah Surati DPR

Pembahasan KUP, Presiden Sudah Surati DPR

FOTO : IST

Pajak.com, Jakarta – Wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masih terus bergulir dan menuai kontroversi. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, terkait PPN masih dalam pembahasan karena  hal itu  menjadi bagian dari perubahan RUU ke-5 atas UU No.6 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Menko Airlangga juga menyampaikan, untuk pembahasan UU KUP itu, Presiden Joko Widodo sudah berkirim surat kepada DPR RI. Menurut Airlangga, yang akan diatur dalam perubahan Undang-Undang KUP tersebut antara lain memuat Pajak Penghasilan (PPh), termasuk PPh Orang Pribadi, pengurangan PPh Badan, terkait PPN barang dan jasa, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Undang-Undang Cukai, pajak karbon, dan soal pengampunan pajak. Revisi UU KUP itu telah ditetapkan masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2021.

“Jadi ada beberapa yang akan dibahas. Hasilnya tentu kita tunggu pembahasan di DPR. Pada prinsipnya, pemerintah memerhatikan situasi perekonomian nasional,” ujar Airlangga pada acara Halal bi Halal secara virtual dengan wartawan pada Rabu (19/5/21).

Airlangga mengatakan, di dalam pembahasan itu, selain ada pembahasan PPN juga akan ada pembahasan terkait dengan pajak penjualan atau Goods And Service Tax (GST). Namun, Airlangga belum memastikan skema GTS merupakan pengganti PPN yang berlaku saat ini.

Menurut Airlangga, skema GST diajukan dalam rangka melindungi industri manufaktur yang selama ini terpukul akibat pandemi virus korona.

“Ada juga pembahasan pajak penjualan ataupun GST, ada hal-hal yang diatur sehingga pemerintah lebih fleksibel mengatur sektor manufaktur perdagangan dan jasa, kisarannya akan diberlakukan pada waktu yang tepat skenarionya akan dibuat lebih luas sehingga tidak kaku seperti yang selama ini diberlakukan,” ujar Airlangga.

Sebelumnya, pemerintah mewacanakan skema kenaikan PPN dalam beberapa skema. Pertama adalah tarif tunggal (single tariff). Artinya, hanya ada satu tarif yang berlaku untuk pungutan PPN. Saat ini, sistem PPN masih menganut skema single tariff, yakni sebesar 10 persen. Sedangkan, mengacu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah masih memiliki ruang kenaikan PPN hingga 15 persen.

Selain skema single tariff, DJP juga mengkaji PPN multi tariff. Lewat skema multi tariff, maka terdapat perbedaan besaran tarif PPN. Barang-barang dan jasa yang diperlukan orang banyak dan sifatnya kebutuhan, biasanya dikenai tarif PPN yang lebih rendah dibanding dengan barang dan jasa yang sifatnya bukan kebutuhan pokok. Meski belum berlaku di Indonesia, banyak negara di dunia yang telah menganut sistem PPN multi tariff.

Menanggapi wacana PPN dan GST, anggota Komisi XI Mukhammad Misbakhun mengatakan, skema GST bisa menjadi pilihan tepat pemerintah untuk mengganti PPN. Cara itu dinilai lebih baik dibandingkan pemerintah menaikkan tarif PPN sampai 15 persen atau skema multi tariff PPN. “GST mekanismenya lebih sederhana dibandingkan PPN kita yang menggunakan mekanisme full credit system,” kata Misbakhun.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version