Menu
in ,

Menkeu: Tidak Semua Fasilitas Kantor Kena Pajak Natura

Pajak.com, Bali – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa tidak semua fasilitas yang diberikan oleh kantor kepada karyawan akan dikenakan pajak natura (fringe benefit).

Seperti Diketahui aturan mengenai natura telah tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP). Penghasilan kena pajak natura dalam UU HPP, meliputi fasilitas/kenikmatan kantor/perusahaan yang diberikan kepada karyawan, baik berupa mobil, rumah, ponsel hingga barang lainnya. Hal inilah yang membuat kekeliruan pemahaman.

“Banyak pemberitaan di media, katanya, semua fasilitas kantor dipajaki. Jadi kalau pekerja dapat laptop, hp (handphone), atau kendaraan itu akan dipajaki. Itu salah. Semua objek kantor dipajakin, itu salah. Kita memberikan suatu tradeshold, kalau fasilitas CEO (chief executive officer) itu benefitnya yang dipajakin. Kalau CEO, kan, fringe benefit-nya banyak sekali dan itu biasanya jumlahnya sangat besar. Tapi, jika pekerja yang dapat fasilitas laptop, masa iya dipajakin? Kan, tidak begitu,” jelas Sri Mulyani dalam acara Kick Off Sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, di Nusa Dua, Bali, pada (19/11).

Menurutnya, selama ini regulasi natura pada prinsipnya tidak dihitung sebagai pendapatan bagi Wajib Pajak (WP) yang menerimanya, sehingga memungkinkan bagi WP badan dan orang pribadi untuk melakukan penghindaran kewajiban perpajakan. Dengan adanya UU HPP, natura akan dihitung sebagai penghasilan karyawan atau dapat dibebankan kepada perusahaan.

“Pekerja dikasih fasilitas kendaraan atau uang makan, bukan itu. Tapi, ini yang merupakan fringe benefit yang memang untuk beberapa segmen kelompok profesi yang luar biasa besar (nilainya) dan tentunya adil untuk dianggap sebagai bagian dari pajak,” jelas Sri Mulyani.

Tidak hanya soal pajak natura, Sri Mulyani juga mengklarifikasi dengan persepsi bahwa semua warga negara yang nomor induk kependudukan (NIK) akan dikenakan pajak.

“Banyak yang bilang kalau punya NIK itu harus bayar pajak, ini judul berita yang salah dan sangat salah. Jadi itu hoaks. Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memang akan mengatur penggunaan NIK sebagai pengganti NPWP (nomor pokok wajib pajak). Namun tidak semua yang memiliki KTP wajib membayar pajak. NIK sebagai NPWP ini menyederhanakan administrasi pajak kita,” jelas Sri Mulyani.

Ia memastikan, mekanisme pengenaan pajak tetap sama seperti sebelumnya. Pajak tidak dikenakan kepada WP yang baru memiliki NIK atau tidak punya pekerjaan. Ketentuan senada juga berlaku pada pekerja yang penghasilannya tidak memenuhi persyaratan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

“Kalau enggak ada pendapatan, ya enggak kena pajak. Kalau Anda pekerja tapi tidak mencapai PTKP juga tidak perlu bayar pajak. Tapi kalau di atas PTKP baru kena pajak,” jelas Sri Mulyani.

Sri Mulyani menuturkan, UU HPP merupakan bekal untuk meneruskan perjalanan Indonesia yang tengah mengalami disrupsi luar biasa akibat Covid-19. UU HPP mendorong reformasi perpajakan yang akan membawa kemajuan untuk bangsa.

“Reformasi yang dilakukan pada masa pandemi ini diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian ekonomi global dan diharapkan dapat menjadi instrumen multi dimensional objektif, yaitu fungsi penerimaan pajak yang bersamaan dengan pemberian insentif untuk mendukung dunia usaha pulih, namun tidak menjadikan administrasinya semakin sulit,” jelasnya.

Dirjen Pajak Suryo Utomo menambahkan, UU HPP tidak hanya berisi ketentuan formal tetapi juga ketentuan material, seperti pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, pajak karbon, dan program Pengungkapan Aset Sukarela (PAS).

“Setelah pengesahan (UU HPP) direncanakan akan ada 43 aturan pelaksana UU HPP, 8 dalam bentuk PP (peraturan pemerintah) dan 35 dalam bentuk PMK (peraturan menteri keuangan. Oleh sebab itu, pemerintah sangat mengharapkan masukan dari para pemangku kepentingan dalam penyusunan aturan-aturan pelaksana tersebut,” jelas Suryo.

Di kesempatan yang sama, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dito Ganinduto mengingatkan, UU HPP adalah hasil kolaborasi semua pemangku kepentingan karena telah melibatkan asosiasi, akademisi, organisasi pendidikan dan kesehatan, dan elemen masyarakat lainnya.

“Setelah UU HPP ini disahkan, DPR berkomitmen untuk terus mengawal reformasi yang dilakukan pemerintah dan terus bekerja sama dalam pelaksanaan dan pengawasan UU HPP, sehingga tujuan pembentukan UU untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai,” kata Dito.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version