in ,

Memahami Penghitungan PPN dan PPh dalam Industri “Freight Forwarding”

PPN dan PPh Industri “Freight Forwarding”
FOTO: Tiga Dimensi

Memahami Penghitungan PPN dan PPh dalam Industri “Freight Forwarding”

Pajak.com, Jakarta – Industri freight forwarding adalah kegiatan usaha yang ditujukan untuk mewakili kepentingan pemilik barang dalam mengurus semua/sebagian kegiatan yang diperlukan demi terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang, baik internasional maupun domestik melalui transportasi darat, laut dan/atau udara.

Adapun kegiatan pengiriman barang tersebut mencakup penerimaan, penyimpanan, sortasi, pengepakan, penandaan, pengukuran, penimbangan, pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan, penghitungan biaya angkutan, klaim, asuransi atas pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan biaya lainnya sampai dengan barang diterima oleh pihak penerima.

Kompleksitas kegiatan di industri freight forwarding tersebut menimbulkan banyak kendala terkait kewajiban perpajakan apabila terdapat peraturan perpajakan terbaru maupun perubahan peraturan khususnya yang menyangkut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Lantas, apa saja kendala terkait PPN dan PPh di industri freight forwarding tersebut?

Pak Jaka dibantu oleh Li Ling Sudarmiati selaku Advisor TaxPrime akan menjawab pertanyaan tersebut dengan lengkap.

Tanya:

Saya seorang pebisnis yang baru berkecimpung di industri freight forwarding. Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya tentang kompleksitas peraturan perpajakan yang berpotensi menjadi kendala dalam melaksanakan kewajiban perpajakan kami sebagai Wajib Pajak sehingga kami dapat memitigasinya.

Jawab:

Terima kasih atas pertanyaan Anda yang disampaikan melalui Pajak.com. Saya akan coba menjawabnya.

Penerapan dan penghitungan tarif pajak di industri freight forwarding memiliki perbedaan dan kendala tersendiri dibandingkan dengan industri lainnya. Khususnya yang menyangkut PPN and PPh. Saya akan uraikan sebagai berikut:

Penerapan PPN Nilai Lain pada Tahun 2013

Dimulai dengan keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 38/PMK.011/2013 yang menambahkan huruf ‘m’ di Pasal 2 atas PMK No. 75/PMK.03/2010 menyatakan “Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) sebesar 10 persen dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih.”

Baca Juga  Sri Mulyani Sebut Fasilitas Bebas PPN Banyak Dinikmati Kelas Atas

Dengan adanya PMK 38/2013 ini, tarif PPN Keluaran di industri freight forwarding yang semula hanya ada 2 jenis berubah menjadi 3 jenis, yaitu:

1.Tarif PPN 0 persen

Untuk tagihan reimbursement sebagai penggantian jumlah yang ditagih oleh pengusaha jasa yang berasal dari tagihan pihak ketiga yang dokumennya langsung atas nama penerima jasa;

2.Tarif Normal PPN 10 persen atas 100 persen jumlah yang ditagih, yaitu 10 persen

Untuk jasa pengurusan transportasi yang di dalam tagihan jasanya tidak terdapat biaya transportasi (freight charges); dan

3.Tarif Normal PPN 10 persen atas 10 persen Nilai Lain Jumlah yang ditagih, yaitu 1 persen

Untuk jasa pengurusan transportasi yang di dalam tagihan jasanya terdapat biaya transportasi (freight charges).

Kemudian terkait jenis PPN Keluaran pada nomor 3 di atas, ditentukan juga selanjutnya di Pasal 3 huruf ‘d’, bahwa semua PPN Masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges), tidak dapat dikreditkan. Peraturan Pasal 3 huruf ‘d’ ini pada praktiknya menjadi penambahan beban di industri freight forwarding  yang akhirnya mengakibatkan penambahan biaya logistik yang lebih besar.

Selain itu, potensi sengketa pajak PPN di industri freight forwarding kerap juga disebabkan oleh cara memisahkan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.

Selanjutnya melalui PMK No. 71/PMK.03/2022 yang berlaku mulai 1 April 2022, sehubungan dengan industri freight forwarding dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain menjadi DPP Besaran Tertentu. Kemudian juga terdapat perubahan peraturan mengenai tarif PPN pada tahun 2022 yang mengalami kenaikan dari 10 persen menjadi 11 persen, sedangkan untuk tarif besaran tertentu tetap 10 persen dari jumlah yang ditagih, sehingga tarif PPN Keluaran menjadi 0 persen, 11 persen dan 1,1 persen.

Untuk PPN Masukan yang dapat dikreditkan maupun yang tidak dapat dikreditkan tetap berada di grey area dan menjadi potensi sengketa pajak. Hal ini dikarenakan peraturan yang berlaku saat ini belum dapat mengakomodasi kompleksitas praktik freight forwarding di lapangan sehingga tidak tepat sasaran dan selalu menimbulkan perbedaan pemahaman antara Wajib Pajak dengan otoritas pajak Ketika dilakukan pemeriksaan pajak.

Baca Juga  Tarif dan Cara Menghitung Pajak Reklame Berdasarkan UU HKPD

Penerapan PPN 0 Persen atas Ekspor Jasa Kena Pajak

Berdasarkan PMK No. 32/PMK.010/2019, disebutkan di Pasal 2 huruf 3 bahwa tarif PPN yang dikenakan atas Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak adalah 0 persen dengan tujuan untuk menggairahkan ekspor.

Kendati demikian, peraturan ini menimbulkan kesimpangsiuran dalam praktiknya di lapangan. Industri freight forwarding terutama perusahan besar setaraf multinational, terbentur dengan salah satu syarat tarif 0 persen yang tertuang di Pasal 6 huruf 1.b yang menyebutkan adanya pembayaran yang disertai dengan bukti pembayaran yang sah dari Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak.

Untuk perusahaan multinasional yang memiliki rantai jaringan setidaknya di lebih dari 50 negara, penagihan dan pembayaran jasa di luar pabean oleh Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak akan dilakukan oleh sister company di negara yang bersangkutan. Di sinilah salah satu peran dari head office untuk melakukan rekonsiliasi semua utang piutang antar-sister companies di seluruh negara dan meng-offset-nya menjadi satu tagihan saja melalui head office.

Hal tersebut dapat meminimalkan risiko bad debt dari overseas dan dapat menghemat biaya administrasi yang sangat besar dari transfer bank antar 50 negara menjadi ke satu negara saja yaitu tempat di mana head office berada.

Pemotongan PPh Pasal 23

Terkait PMK No. 141/PMK.03/2015 yang menetapkan Pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2 persen atas jumlah bruto imbal jasa tidak termasuk PPN, termasuk di dalamnya imbal jasa yang disediakan oleh pengusaha pengurusan transportasi (freight forwarding).

Terdapat 2 hal di peraturan tersebut yang menjadi kendala bagi industri freight forwarding, yaitu:

1. Dasar pemotongan PPh Pasal 23 sebesar keseluruhan pembayaran kepada penyedia jasa, kecuali dapat melampirkan faktur tagihan dan/atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak ketiga. Seharusnya dapat dimengerti, bahwa melampirkan tagihan pihak ketiga di tagihan kepada pengguna jasa adalah hal yang mustahil, karena itu berarti penyedia jasa membuka informasi identitas pihak ketiga dan harga dari pihak ketiga.

Baca Juga  Vaudy Starworld, Ketua Umum IKPI Periode 2024 - 2029!

Karena peraturan ini, penyedia jasa harus merelakan pemotongan PPh Pasal 23 atas total jumlah bruto tagihannya, yang berarti 2 persen dari total penjualan sudah terpotong di awal sebagai prepaid tax. Hal ini sangatlah memberatkan bagi freight forwarder.

2. Pemotongan PPh 2 persen dari jumlah bruto tidak termasuk pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan penggantian (reimbursement) atas biaya yang telah dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak ketiga dalam rangka pemberian jasa bersangkutan seperti tertulis di Pasal 1 huruf 3.b.4.

Tapi dalam praktiknya, selalu terjadi pemotongan oleh pengguna jasa atas tagihan reimbursement ini, karena pada hakikatnya pengguna jasa hanya mau berhubungan dengan penyedia jasa, sehingga freight forwarder sebagai penyedia jasa masih harus terbebani dengan tugas tambahan melakukan rekonsiliasi atas pemotongan PPh Pasal 23 oleh pengguna jasa, mengumpulkan bukti pemotongan, kemudian menagihkan kembali ke pihak ketiga secara berkala. Hal ini sangat tidak efisien mengingat hampir semua tagihan freight forwarder terdapat transaksi reimbursement.

Demikian jawaban saya mengenai kompleksitas peraturan perpajakan yang berpotensi menjadi kendala di industri freight forwarding. Saya berharap pemerintah dapat merancang kebijakan dengan analisis mendalam dan memperhitungkan dampak-dampak yang ditimbulkannya sehingga kebijakan tersebut dapat memberikan keadilan dan kemudahan berbisnis di Indonesia.

Selain itu, kebijakan harus dirancang dengan sejelas mungkin agar pemahaman antara otoritas perpajakan dan Wajib Pajak juga sama. Dengan demikian, praktik di lapangan menjadi lancar dan tidak terkendala. Wajib Pajak makin patuh dan berdampak pada penerimaan pajak yang meningkat.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *