Menu
in ,

Mekanisme Pajak Karbon yang Berlaku 1 April 2022

Mekanisme Pajak Karbon yang Berlaku 1 April 2022

FOTO: KLI Kemenkeu

Pajak.com, Palembang – Selain kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN), Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) juga menetapkan pemberlakuan pajak karbon mulai 1 April 2022. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, pemerintah tidak mengenakan pajak pada setiap kegiatan yang menghasilkan emisi karbon. Namun, mekanisme penerapan pajak karbon dilakukan secara bertahap dan akan dimulai pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

“Kebijakan pajak karbon memang ditujukan untuk mengurangi emisi karbon, tetapi pemerintah memiliki sejumlah ketentuan untuk mengenakan pajak pada sektor penghasil polusi udara. Jadi, tidak semua aktivitas produksi yang menghasilkan karbon dikenakan pajak karbon,” kata Sua, panggilan karib Suahasil Nazara, dalam Sosialisasi UU HPP di Palembang, yang juga disiarkan secara virtual, (18/3).

Ia menjelaskan, secara umum pengenaan pajak karbon ditujukan kepada semua aktivitas yang menghasilkan CO2. Kendati demikian, pemerintah menetapkan ambang batas pelepasan emisi yang kemudian disebut cap (batas emisi). Artinya, perusahaan tidak akan dikenakan pajak karbon bila emisi yang dilepaskan masih di bawah atau setara dengan batas emisi ketentuan pemerintah. Dalam UU HPP, pengenaan pajak karbon ditetapkan sebesar Rp 30 per kilogram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

“Jika emisi yang dilepaskan melebihi ambang batas, maka pengusaha diberikan dua pilihan, membeli karbon kredit untuk kelebihan karbon yang dilepaskan, atau membayarkan pajak karbon sesuai dengan kelebihan emisi. Kalau perusahaan memilih membeli karbon kredit di pasar karbon, maka tidak perlu membayarkan pajak karbon. Begitu juga sebaliknya, jika membayarkan pajak karbon, maka pengusaha tidak perlu membeli karbon kredit,” jelas Sua.

Selanjutnya, bila karbon kredit yang dibeli masih kurang untuk memenuhi ambang batas yang ditetapkan, maka perusahaan boleh membayarkan sisa kelebihan karbon dalam bentuk pajak karbon.

“Saat ini pemerintah masih mendesain kebijakan pajak karbon untuk semua jenis usaha yang menghasilkan karbon. Sebab skema pajak karbon tersebut baru akan diterapkan pada tahun 2025 mendatang. Untuk tahap awal skema tersebut akan diterapkan kepada sektor pembangkit listrik mulai tahun ini. Khususnya, batu bara yang dalam aktivitasnya menghasilkan karbondioksida. PLTU ini, kan, sudah jelas pemiliknya, sebagian besar juga punya PLN (PT Perusahaan Listrik Negara) dan pemerintah,” ujar Sua.

Ia mengungkap, pemerintah telah melakukan uji coba pajak karbon. Hal ini untuk menunjukkan kepada dunia, Indonesia serius dengan upaya beralih ke energi hijau.

“Ini menunjukkan kita serius dengan green economy dan kita desain mekanismenya saat ini,” kata Sua.

Dalam kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pajak karbon merupakan instrumen kebijakan untuk bisa mendorong inovasi.

“Di dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan kita telah memperkenalkan instrumen baru yang disebut pajak karbon. Ini adalah sebuah instrumen kebijakan untuk bisa mendorong perilaku dari kegiatan ekonomi terutama dari sektor swasta agar makin memasukkan konsekuensi dari kegiatan ekonominya dalam bentuk karbon emisi di dalam hitungan investasi mereka,” kata Sri Mulyani.

Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menyatakan kesiapannya dalam menjalankan mekanisme pajak karbon. Ketua Umum APLSI Arthur Simatupang menilai, penerapan pajak karbon menjadi langkah pemerintah merealisasikan transisi energi.

“Kita cermati, kita diskusi dengan para anggota, karbon ini memang harus dikendalikan dan harus ada komitmen ke depan, mulai dikontrol ukurannya,” kata Arthur.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version