Menu
in ,

Ketentuan Pajak Minimum Global Langkah Sehatkan APBN

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, ketentuan global minimum taxation atau pajak minimum global menjadi salah satu langkah dunia untuk menyehatkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setelah tertekan akibat krisis pandemi COVID-19. Salah satunya, yakni peningkatan pendapatan negara, terutama yang bersumber dari pajak.

Seperti diketahui, dunia terus membahas solusi dua pilar yang dirilis OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), termasuk di Forum G20. Proposal Pilar 1: unified approach, diusulkan sebagai solusi yang menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik. Sementara pada Pilar 2: global anti-base erosion rules (GloBE), akan mengurangi kompetisi pajak serta melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak minimum secara global. Pilar 2 akan memastikan perusahaan multinasional dikenakan tarif pajak minimum sebesar 15 persen.

“Jadi, di G20 ini para menteri keuangan pada saling lihat bagaimana cara kita me-recover APBN, makanya ada global taxation agreement,” jelas Sri Mulyani dalam CNBC Economic Outlook 2022, yang disiarkan secara virtual, (22/3).

Ia mengatakan, saat ini seluruh menteri keuangan di dunia sedang berusaha menyehatkan APBN yang telah bekerja keras menopang kebutuhan masyarakat selama pandemi. Salah satu cara memulihkan APBN adalah adanya ketentuan pajak minimum global yang bertujuan untuk melindungi hak-hak pemajakan setiap yurisdiksi dari praktik BEPS.

“Sejauh ini banyak perusahaan besar yang memutuskan pindah ke suatu negara dengan pajak lebih rendah demi menghindari pajak yang lebih tinggi di negara awal. Kalau mereka bisa petak umpet, kan, tidak fair. Makanya, sekarang dibuat global minimum taxation. Tujuannya untuk menghindarkan para Wajib Pajak bisa pindah-pindah ke negara dengan pajak lebih rendah,” ungkap Sri Mulyani.

Direktur Pelaksana Bank Dunia periode 2010–2016 ini mengatakan, upaya penghindaran pajak itu merugikan pendapatan negara, mengingat setiap negara juga memiliki tanggung jawab untuk membangun infrastruktur, menjaga keamanan, membuat institusi kesehatan, serta pendidikan bagi masyarakatnya.

“Pendapatan negara bocor keluar dalam bentuk penghindaran pajak, ya tidak adil. Itu yang sekarang ini menjadi salah satu capaian dari G20 adalah global taxation agreement,” tegas Sri Mulyani.

Secara simultan, selain mendukung aksi global, Indonesia berupaya mendorong penerimaan negara dengan membuat langkah reformasi perpajakan. Utamanya, diterbitkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), baik dari sisi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), hingga pajak karbon. Dengan begitu, Sri Mulyani optimistis, Indonesia memiliki pondasi fiskal lebih kuat.

“Ini bukan untuk tujuan satu periode, ini adalah untuk Indonesia selamanya. Indonesia hanya bisa maju menjadi negara yang makmur dan adil kalau APBN sehat,” ujarnya.

Sebelumnya, Director of Centre for Tax Policy and Administration OECD Pascal Saint-Amans mengatakan, OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS telah menerbitkan panduan lanjutan atas model rules Pilar 2 bernama commentary to the GloBE rules.

Rilisnya commentary merupakan pencapaian yang signifikan dan merupakan akhir dari kerja keras Inclusive Framework dalam mencapai kesepakatan atas GloBE. Selain itu, konsultasi publik kali ini tidak meminta komentar atas model rules dan commentary, tetapi berfokus pada mekanisme yang diperlukan, sehingga otoritas dan perusahaan multinasional dapat menerapkan Pilar 2 secara konsisten dan terkoordinasi sembari menekan biaya kepatuhan,” jelas Saint-Amans.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version