Menu
in ,

Kemen ESDM: Pajak Karbon Tak Picu Kenaikan Tarif Listrik

Kemen ESDM: Pajak Karbon Tak Picu Kenaikan Tarif Listrik

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana memastikan pajak karbon tidak memicu kenaikan tarif listrik. Pemerintah baru menerapkan kebijakan pajak karbon secara terbatas serta mematok tarif yang rendah dibandingkan negara lain.

“Yang selalu kita pegang, kita jagain adalah affordability is a must, tidak boleh itu dikorbankan. Misal mau lakukan pasar karbon tapi ujung-ujungnya masyarakat mendapat dampaknya berupa kenaikan tarif listrik, kami menghindari itu,” ujar Rida, dalam acara Energy Corner, pada (29/11).

Namun, pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati kompensasi untuk penyesuaian tarif listrik nonsubsidi tahun 2022. Pasalnya, tarif dasar listrik tidak mengalami perubahan sejak 2017. Rencananya, kenaikan listrik akan diberlakukan untuk kelas menengah ke atas, namun hal itu pun masih mempertimbangkan perkembangan pemulihan ekonomi nasional.

“Tahun 2022 apakah akan diterapkan tariff adjustment. Jadi kalau sekiranya COVID-19 membaik ke depan mudah-mudahan, kita bersepakat dengan Banggar DPR kompensasi tariff adjustment diberikan enam bulan saja, selanjutnya disesuaikan,” kata Rida.

Ia menjelaskan, tariff adjustment merupakan tarif listrik bagi 13 golongan pelanggan nonsubsidi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Seharusnya, tarif listrik bagi golongan pelanggan nonsubsidi ini bisa berfluktuasi alias naik atau turun setiap tiga bulan disesuaikan dengan tiga faktor, yakni nilai tukar (kurs), harga minyak mentah, dan inflasi.

“Pemerintah menahan penerapan skema tariff adjustment ini sejak 2017 dengan alasan memerhatikan daya beli masyarakat yang masih rendah. Akibatnya, pemerintah harus memberikan kompensasi kepada PLN atas selisih biaya pokok penyediaan listrik atau tarif keekonomian dengan tarif yang dipatok pemerintah bagi pelanggan nonsubsidi. Artinya, bahkan saya sendiri saat ini seolah-olah dapat subsidi listrik dari negara. Agak malu ya, tapi faktanya seperti itu,” jelas Rida.

Dengan demikian, jika ada kenaikan tarif listrik tahun 2022 untuk pelanggan PLN nonsubsidi, maka hal itu bukan karena penerapan pajak karbon.

Ia lantas menjelaskan, pada tahap awal implementasi perdagangan karbon, pemerintah hanya mengenakan tarif Rp 30 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Sementara untuk mekanisme, pajak baru dipungut apabila jumlah emisi yang dihasilkan melebihi batas emisi (cap) yang telah ditetapkan.

Pemerintah belum menerapkan skema pungutan pajak yang lebih luas melalui perdagangan atau bursa karbon atau dikenal dengan istilah cap and trade. Dengan begitu, penerapan masih sangat terbatas dan diperkirakan minim dampak ke masyarakat,” kata Rida.

Mekanisme penerapan ini berbeda dengan negara-negara lain di dunia yang sudah mulai menetapkan tarif pajak karbon. Menurut kementerian ESDM, tarif pajak karbon tertinggi ada di Swedia mencapai 137 dollar AS per ton CO2.

“Negara-negara Uni Eropa dan Amerika Utara termasuk yang sangat ambisius dengan menerapkan harga karbon yang tinggi,” jelasnya.

Saat ini Kementerian ESDM telah melakukan uji coba perdagangan karbon di Indonesia. Dari uji coba yang dilakukan kepada 32 unit PLTU batu bara, terdapat 28 transaksi karbon yang mencapai nilai 42.455,42 ton CO2 dengan rata-rata 2 dollar AS per ton CO2.

“Atas transaksi itu, maka keperluan biaya uji coba mencapai Rp 1,54 miliar. Terdiri dari Rp 1,22 miliar dana sebagai insentif bagi perusahaan yang kadar emisinya di bawah cap dan Rp 236 juta untuk perusahaan yang sudah memiliki pembangkit energi baru dan terbarukan. Artinya, tidak semua PLTU pada akhirnya diberikan pungutan pajak karena nyatanya masih banyak yang berada di bawah cap atau batas,” kata Rida.

Ia mengatakan, pemerintah nantinya bisa meningkatkan mekanisme pungutan pajak karbon dari cap and tax ke cap and trade. Misalnya, ada pembangkit listrik dengan kapasitas 800 megawatt (MW) dengan produksi 6,1 juta MWh dan cap yang ditetapkan 0,981. Maka, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan sekitar 5,8 juta ton CO2. Dari perhitungan ini, PLTU mengalami defisit karbon sekitar 200,2 ribu ton CO2.

“Selanjutnya, misal harga karbon yang nanti digunakan sesuai rata-rata dunia sekitar 2 dollar AS per ton CO2, maka total transaksi pajak karbonnya senilai Rp 5,73 miliar. Tapi bila pembangkit itu hanya bisa melakukan trading and offset dengan batas 100,2 ribu ton CO2, maka defisit emisinya hanya sebesar 100 ribu ton CO2, jadi yang dikenakan pajak hanya sebesar itu atau sama dengan Rp 2,86 miliar. Mekanisme yang sekarang berlaku masih cap and tax, belum cap and trade,” kata Rida.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version