Menu
in ,

Jepang Serukan Pajak Karbon Global Industri Perkapalan

Pajak.com, Jepang – Jepang, salah satu negara pelayaran terkemuka di dunia telah menyerukan pajak karbon global, yang akan membuat industri perkapalan membayar setidaknya 56 dollar AS atau sekitar Rp 821 ribu per ton karbon dioksida (CO2), mulai dari tahun 2025 hingga 2030.

Usulan pajak karbon atas setiap pengiriman ini disampaikan kepada regulator pelayaran global International Maritime Organization (IMO), sebagai upaya untuk mengatasi kontribusi gas rumah kaca yang signifikan oleh transportasi laut. Jika betul-betul diberlakukan, Negeri Matahari Terbit ini diproyeksikan akan mendapat kontribusi pajak mencapai lebih dari 50 miliar dollar AS per tahun, yang setara dengan emisi perkapalan sebesar 940 juta ton CO2 per tahun.

Dalam proposal itu juga disebutkan bahwa tarif pajak diusulkan meningkat setiap lima tahun. Pajak akan ditetapkan sebesar 135 dollar AS per ton dimulai pada tahun 2030, 324 dollar AS per ton pada tahun 2035, dan 673 dollar AS per ton pada tahun 2040. Proposal ambisius ini juga menyarankan bahwa pajak karbon untuk bunker—kapal penyimpan bahan bakar dan produk minyak bumi—dikenakan tiga kali lebih tinggi, karena setiap ton bahan bakar bunker menghasilkan sekitar tiga ton CO2.

“Kami ingin mengusulkan skema yang akan mengumpulkan uang dari kapal (bertenaga) bahan bakar fosil dan mengembalikan (menyubsidi) uang itu ke kapal tanpa emisi, untuk membantu operator kapal ramah lingkungan menutup biaya investasi mereka,” kata seorang pejabat biro maritim Jepang kepada Financial Times, dikutip Pajak.com, Sabtu (14/5).

Untuk diketahui, industri transportasi dan perkapalan Jepang merupakan blok vital dalam mendukung perdagangan global dan rantai pasokan, di mana hingga 90 persen makanan dan produk yang dikonsumsi warganya diangkut melalui laut. Namun, di sisi lain sektor ini juga merupakan penghasil karbon utama dan bertanggung jawab atas setidaknya 2,5 persen emisi karbon global—lebih banyak dari total emisi Jerman.

Jepang adalah pembuat kapal terbesar ketiga di dunia, dan Tokyo diharapkan dapat membantu memetakan arah antara ambisi barat tentang perubahan iklim dan kekhawatiran ekonomi negara berkembang menjelang pertemuan penting IMO pada musim semi ini. Proposal Jepang ini muncul di tengah meningkatnya perdebatan tentang bagaimana mendekarbonisasi perdagangan maritim.

Dan sejatinya, sektor yang merupakan sumber kehidupan perdagangan global ini sulit untuk didekarbonisasi. Pasalnya, keragamannya dari feri hingga kapal tanker besar dan karena bahan bakar bersih seperti hidrogen hijau, amonia atau metanol belum tersedia dalam skala besar.

Di sisi lain, IMO telah menetapkan tujuan yang kurang bersemangat, hanya mengurangi separuh emisi pada tahun 2050—setengah dari pengurangan yang disyaratkan oleh Perjanjian Paris. Sampai saat ini, hanya Kepulauan Marshall dan Kepulauan Solomon yang telah mengusulkan insentif finansial yang berarti untuk mendekarbonisasi pengiriman, sebesar 100 dollar AS per ton CO2.

Sementara The International Chamber of Shipping, sebagai pelobi industri, mendorong pungutan setara dengan 63 sen per ton CO2 untuk mendirikan dana penelitian, yang menurut banyak negara anggota merupakan gangguan dari diskusi yang lebih substantif mengenai pajak karbon.

Negara-negara berkembang ingin setiap pendapatan yang diperoleh dari pajak karbon atas pengiriman, digunakan untuk mengompensasi mereka atas dampak perubahan iklim dan kerugian perdagangan. Di lain pihak, industri ingin menyalurkan dana kembali untuk membayar dekarbonisasi dan infrastruktur yang dibutuhkan.

Negosiasi multilateral di dalam IMO akan mencoba untuk memutuskan jenis insentif keuangan demi mengejar pengurangan emisi dalam pengiriman, mulai dari sistem perdagangan karbon dan retribusi hingga potongan harga untuk kapal “hijau”.

Cina, dengan dukungan Argentina, Brasil, Afrika Selatan, dan UEA, telah mengusulkan pembebanan biaya pada kapal di bawah tolok ukur efisiensi karbon tertentu—alih-alih bergantung pada bahan bakar yang mereka gunakan, seperti yang diusulkan Jepang—dan memberi penghargaan kepada kapal di atas ambang batas tertentu.

“Industri perkapalan percaya sistem pajak karbon memungkinkan mereka menghitung berapa banyak yang harus mereka bayar, sehingga mereka dapat membuat rencana pembiayaan secara akurat,” imbuh pejabat Jepang itu.

Ia juga mengatakan, tarif yang diberikan oleh Jepang dapat berubah tergantung pada biaya amonia dan hidrogen untuk bahan bakar tanpa emisi yang bisa saja berkembang di tahun-tahun mendatang. Namun, para aktivis kecewa karena proposal Jepang hanya mencakup emisi yang dihasilkan di atas kapal dan gagal untuk menutupi emisi yang dihasilkan selama produksi bahan bakar.

Itu berarti bahan bakar yang diproduksi menggunakan hidrokarbon akan diperlakukan sama dengan yang dibuat menggunakan sumber energi terbarukan.

“Tidak adil untuk membuat negara berkembang menanggung biaya yang tidak proporsional untuk mengatasi masalah global yang tidak mereka ciptakan,” kata seorang delegasi Amerika Latin tentang proposal tersebut.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version