Ini Alasan Tiongkok Tidak Kenakan Pajak Properti
Pajak.com, Beijing – Di hampir seluruh penjuru Republik Rakyat Tiongkok, pemerintah daerah (pemda) tengah berada di ambang kebangkrutan. Bahkan, pemerintahan lokal di beberapa kota telah memotong gaji pegawai negerinya, dan memotong besaran asuransi kesehatan kota sehingga memicu demonstrasi. Tak heran, pemerintah pusat terus mengguyur dana talangan untuk menyelamatkan kota-kota dari masalah anggaran yang mendalam. Masalahnya, Tiongkok belum beralih ke sumber pendapatan yang akan menjadi pilihan yang jelas di negara lain, yaitu pajak properti. Apa alasannya? Pemerintah Tiongkok bisa dibilang sebagai penguasa lahan, tapi pemerintah daerahnya hampir tidak pernah mengenakan pajak kepada pemilik rumah. Sebaliknya, pemerintah kota mengandalkan penjualan sewa jangka panjang kepada pengembang real estat.
Di sisi lain, pemerintah pusat Tiongkok pada bulan lalu—setelah upaya selama satu dekade yang melibatkan 100 ribu petugas—berhasil memegang data kepemilikan 790 juta apartemen dan properti lainnya. Dengan berbekal data itu, seharusnya pemerintah pusat dapat memulai sistem pajak properti nasional.
Namun, hingga saat ini mereka belum juga melakukannya lantaran terhalang beberapa alasan. Dikutip dari New York Times, setidaknya ada tiga alasan kuat pemerintah setempat urung menerapkan pajak properti. Pertama, isu pembuatan kebijakan, karena pemerintah pusat Tiongkok harus terlebih dahulu menyusun aturan yang panjang dan proses nan kompleks.
Kedua, masalah ekonomi yang diproyeksi akan merugikan pemilik rumah pada saat pasar perumahan mengalami penurunan. Memperkenalkan pajak properti juga dikhawatirkan akan menurunkan harga rumah pada saat konstruksi di semua kota. Banyak pemilik rumah sudah khawatir kehilangan uang untuk apartemen mereka.
Faktanya, kota-kota kecil di Tiongkok membutuhkan pajak properti yang lebih besar untuk menyeimbangkan defisit anggaran mereka, tetapi pasar perumahan di sana juga tidak sekuat di kota-kota besar. Resistensi publik terhadap pajak properti juga sangat kuat. Pemilik apartemen percaya bahwa pajak real estat harus menjadi tanggung jawab pengembang, yang telah membayar mahal tanah untuk membangun perumahan kepada pemerintah.
Ketiga, alasan yang paling penting untuk menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Tiongkok yakni isu politik. Pasalnya, ketika aturan pajak properti dikeluarkan, maka dipastikan data itu akan mengekspos pejabat pemerintah yang memiliki banyak rumah.
Ya, pajak ini bisa mengungkap kekayaan pejabat yang membeli tanah dan properti. Kemudahan kepemilikan tanah dan properti merupakan keuntungan pejabat lokal sebagai pekerjaan pegawai negeri, memiliki kesempatan untuk membeli apartemen dengan harga murah, terutama selama tahun 1990-an.
Dengan beberapa apartemen di kota-kota besar dijual seharga beberapa juta dollar AS, dan dengan pejabat kota senior yang hanya berpenghasilan 30 ribu dollar AS atau 40 ribu dollar AS setahun, mengenakan pajak tahunan 1 persen dapat mengklaim seluruh pendapatan mereka.
Meski demikian, pemerintah pusat sejak tahun lalu telah mengkaji apakah akan mengenakan pajak rumah di apartemen atau memungut pajak dari rumah terbesar dan termewah di Tiongkok. Jia Kang, mantan direktur riset kementerian keuangan Tiongkok yang masih menjadi penasihat kementerian, mengatakan pemerintah Tiongkok telah menyelesaikan sistem pendaftaran real estat.
Hal ini mengisyaratkan bahwa Tiongkok telah membuat kemajuan menuju pemberlakuan pajak real estat suatu hari nanti.
“Pendaftaran real estat yang terpadu merupakan prasyarat paling mendasar untuk mengoptimalkan pengelolaan pasar real estat. Ini juga akan berperan dalam mendukung pajak real estat di masa depan,” katanya dikutip dari New York Times, Minggu (14/5).
Sejatinya, gagasan memperkenalkan pajak properti bukanlah hal baru. Pada 2003 silam, Komite Sentral Partai Komunis sebagai badan pembuat keputusan tertinggi di Tiongkok telah memutuskan untuk mengenakan pajak properti yang seragam dan terstandardisasi pada real estat—apabila keadaan telah memungkinkan.
Banyak ekonom Tiongkok telah mendukung pajak real estat, seperti Lou Jiwei, pensiunan menteri keuangan yang tetap menjadi pemimpin intelektual di kalangan teknokrat Tiongkok. Menurutnya, pajak real estat adalah jenis pajak yang paling cocok sebagai pajak daerah, dan harus diujicobakan sesegera mungkin setelah ekonomi kembali ke pertumbuhan normal.
Ada lagi Mao Zedong, pendiri Komunis Tiongkok, yang sempat menasionalisasi tanah Tiongkok dari tahun 1940-an hingga 1960-an. Tanah-tanah tersebut didapat dari keluarga kaya yang terbunuh dan mengalihkan kepemilikannya kepada negara.
Sejak tahun 1980-an, pemerintah daerah telah menutup sebagian besar biaya pembangunan jalan, operasional sekolah, dan kegiatan lainnya dengan menyewakan sebagian besar lahan tersebut kepada pengembang. Hingga tahun lalu, penjualan sewa tanah menyumbang 7 persen ekonomi Tiongkok.
Sebagai perbandingan, rata-rata pajak properti di 38 negara demokrasi industri yang tergabung dalam the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah sebesar 1,9 persen. Amerika Serikat (AS), misalnya, sangat bergantung pada pajak properti. Pemerintah daerah di AS berhasil mengumpulkan 3 persen dari produk domestik bruto negara setiap tahun melalui pajak ini, dan membelanjakan sebagian besar hasilnya untuk menyubsidi sekolah negeri.
Bagi Tiongkok, mengumpulkan uang melalui sewa tanah telah berhasil dengan baik untuk waktu yang lama. Namun, jatuhnya pasar perumahan secara perlahan—terutama sejak COVID-19 melanda—telah memicu gagal bayar obligasi oleh puluhan pengembang, yang telah berjuang untuk menyelesaikan proyek apartemen, apalagi membeli tanah untuk mengembangkan apartemen baru. Pendapatan dari penjualan tanah selama beberapa dekade terakhir juga telah memungkinkan Tiongkok untuk mempertahankan pajak lainnya tetap rendah.
Meskipun Tiongkok dicap sebagai negara sosialis, praktis tidak ada pajak atas keuntungan investasi, warisan, atau kekayaan pribadi. Selain sewa tanah kepada pengembang, pemerintah pusat dan daerah mengandalkan kombinasi regresif dari pajak penjualan yang berat, pajak gaji, dan pajak badan usaha.
Comments