Menu
in ,

Indonesia Penggerak Pajak Karbon di Negara Berkembang

Pajak.com, Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meyakini bahwa Indonesia menjadi penggerak pertama penerapan pajak karbon di negara berkembang. Regulasi pajak karbon kini telah diatur dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Adapun urgensi pengenaan pajak karbon adalah sebagai pengendali perubahan iklim.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, implementasi pajak karbon menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon, antara lain Inggris, Jepang dan Singapura,

“Indonesia menjadi penggerak pertama pajak karbon di dunia terutama dari negara kekuatan ekonomi baru (emerging). Dengan penerapan pajak karbon, Indonesia akan menjadi penentu arah kebijakan global dalam melakukan transisi menuju pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan, baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur,” kata Febrio melalui keterangan tertulis yang diterima Pajak.compada (13/10).

Indonesia menyadari dampak perubahan iklim telah menjadi tantangan global yang perlu ditangani secara bersama. Sebagai negara yang tergolong rawan terhadap ancaman perubahan iklim, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2016. Selanjutnya, penanganan perubahan iklim ditetapkan menjadi salah satu agenda prioritas nasional dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan 2020—2024.

Di dalam dokumen NDC itu Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

“Prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca itu berada pada sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi NDC Indonesia. Lebih jauh lagi, dengan semakin kuatnya tren global terhadap isu perubahan iklim, Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) di tahun 2060 atau lebih awal,” jelas Febrio.

Selain itu, implementasi pajak karbon menjadi bukti konsistensi komitmen pemerintah mewujudkan ekonomi hijau. Sebelumnya, pemerintah juga sudah memulai percepatan investasi hijau melalui berbagai insentif fiskal, seperti tax holiday, tax allowance, dan fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT).

Sementara dalam konteks pembangunan, penerimaan negara dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.

Febrio menjelaskan, pada tahap awal, pajak karbon akan mulai diterapkan pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara mulai 1 April 2022 dengan menggunakan mekanisme yang berbasis pada batas emisi (cap and tax), yaitu tarif senilai Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Hal itu sejalan dengan pengembangan pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batu bara.

“Di sisi lain, pemerintah memahami transisi hijau sangat penting sehingga dalam mekanismenya Wajib Pajak dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang telah dibelinya di pasar karbon sebagai pengurang kewajiban pajak karbonnya,” tambahnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version