in ,

Indonesia Mulai Menerapkan Dua Pilar Pajak Global

dua pilar pajak global
FOTO : IST

Indonesia Mulai Menerapkan Dua Pilar Pajak Global

Pajak.com, Jakarta – Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menuturkan, Indonesia akan mulai menerapkan dua pilar konsensus yang diinisiasi oleh pajak Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)/G20 sebagai solusi untuk mengatasi tantangan perpajakan yang timbul karena digitalisasi.

Seperti diketahui, dua pilar itu merupakan inisiatif OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (IF) dan telah disepakati oleh negara anggota, termasuk Indonesia. Pilar 1 merupakan usulan solusi daru OECD/G20 untuk menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital. Sementara itu, Pilar 2 berisi usulan solusi sebagai upaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan minimum yang efektif secara global.

“Pada semester pertama tahun 2023, Pilar I akan ditandatangani oleh konvensi multilateral. Kita juga sudah siap dengan aturan untuk mengimplementasi Pilar 1 dan Pilar 2 dalam proses ke depannya,” kata Yon dalam acara International Tax Conference yang juga digelar secara on-line, dikutip Pajak.com (10/12).

Baca Juga  Cara Lapor SPT Tahunan PPh Pasal 21 Dari Dua Pemberi Kerja

Kemudian, tahun depan rencananya Indonesia akan mengimplementasikan aturan inklusi pendapatan atau income inclusion rule (IIR) dan subject to tax rule (STTR).

“Di tahun 2024, barulah Indonesia mengimplementasikan UUTPR (under taxed payment rule). Kemudian, implementasi sepenuhnya pada Pilar 2 di tahun 2024,” ujar Yon.

Secara simultan, untuk menyikapi era digitalisasi, Indonesia sudah menjadi pionir dalam pemungutan pajak digital, terutama untuk pajak bagi aktivitas perusahaan finansial berbasis teknologi (fintech) dan aset kripto, sehingga transparansi pajak akan terus diperkuat ke depan.

“Ada peningkatan signifikan dari administrasi perpajakan dan pengelolaan fintech dan aset kripto sejak pajaknya dipungut karena aturan yang diterbitkan pada April 2022,” ungkap Yon.

Berdasarkan data pemaparan data Konferensi Pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) Edisi November 2022, penerimaan pajak dari transaksi ekonomi yang berkaitan dengan aset kripto telah mencapai Rp 191,11 miliar hingga Oktober 2022, sementara pajak dari fintech peer to peer lending sebesar Rp 148,6 miliar.

Baca Juga  Bupati Kendal: Lapor SPT Kapan dan di Mana Saja via e-Filing

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, dua pilar prinsip perpajakan internasional mengenai perpajakan di sektor digital telah disepakati dan akan dilaksanakan pada tahun 2023.

“Pilar 1 dan 2 bisa disepakati dan dijalankan sebagai suatu kebijakan yang efektif pada tahun 2023,” ujar Sri Mulyani dalam keterangan pers Presidensi G20 Indonesia, (28/2).

Menurutnya, pembahasan mengenai perpajakan internasional dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara-Negara G20 di Forum G20 Presidensi Indonesia mengalami banyak kemajuan.

“Pilar 1 terkait perpajakan di sektor digital menjadi salah satu isu yang sangat tegang di antara negara-negara G20 maupun di seluruh dunia. Adapun Pilar 2 mengenai global minimum taxation ditujukan untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak antarnegara, di mana kemungkinan bisa terjadi upaya menghindari pajak atau tax avoidance dan penggelapan pajak atau tax evasion,” jelas Sri Mulyani.

Ia mengungkapkan, setelah kedua pilar disepakati dan dilaksanakan pada tahun 2023, maka akan dilakukan monitoring untuk pelaksanaannya. Kemudian, dalam melaksanakan kedua pilar itu, terdapat banyak negara yang membutuhkan bantuan technical assistance, baik mulai dari membangun legislasinya atau aturannya untuk bisa menjalankan kesepakatan maupun dari sisi kapasitas dari otoritas pajak masing-masing negara.

Baca Juga  Penerimaan Pajak Kanwil DJP Jakbar Capai Rp 5,6 T per 31 Januari

“Oleh karena itu, di dalam G20 juga disepakati akan adanya dukungan untuk kapasitas penambahan atau peningkatan kapasitas bagi negara-negara berkembang yang membutuhkan bantuan untuk mengimplementasikan dua pilar itu secara sesuai dengan kesepakatan waktu, yang disebut sangat ambisius yaitu tahun 2023,” kata Sri Mulyani.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *