Imbas Kendala di Sistem “Core Tax”, Penerimaan Pajak di Jawa Timur Alami Kontraksi
Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa penerimaan pajak di Jawa Timur tercatat sebesar Rp19,05 triliun hingga 31 Januari 2025. Angka ini setara dengan 6,83 persen dari target Rp278,96 triliun. Namun, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, terjadi kontraksi sebesar 2,70 persen.
Sebagaimana dilansir dari lama Pajak.go.id, DJP mengungkapkan bahwa, penurunan ini terutama disebabkan oleh kebijakan pemusatan pembayaran dan administrasi Wajib Pajak cabang, serta kendala dalam implementasi sistem perpajakan baru, core tax DJP.
DJP menjelaskan bahwa, kebijakan pemusatan pembayaran mengakibatkan perpindahan pencatatan pajak dari kantor pajak di Jawa Timur ke kantor pusat Wajib Pajak yang berada di luar wilayah tersebut. Selain itu, penerapan core tax DJP yang masih dalam tahap penyesuaian berdampak pada kelancaran administrasi perpajakan, termasuk penerbitan faktur pajak.
“Serta belum optimalnya implementasi sistem perpajakan baru (core tax DJP), yang berdampak pada kelancaran administrasi perpajakan,” tulis DJP, dikutip Pajak.com pada Selasa (4/3/2025).
Hingga akhir Januari 2025, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) masih menjadi penyumbang terbesar penerimaan pajak di Jawa Timur dengan kontribusi 66,32 persen. Sementara itu, Pajak Penghasilan (PPh) NonMigas menyumbang 32,95 persen.
Namun, penerimaan PPN dalam negeri masih mengalami kontraksi akibat kebijakan pemusatan pembayaran Wajib Pajak cabang. Sebaliknya, PPN Impor dan PPh Pasal 22 Impor tumbuh sebesar 9,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa aktivitas impor di wilayah Jawa Timur tetap stabil.
Sementara itu, penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) mengalami lonjakan signifikan masing-masing sebesar 693,01 persen dan 311,23 persen. Peningkatan ini terjadi akibat perubahan administrasi yang kini memasukkan pembayaran Wajib Pajak cabang dalam pencatatan pajak di Jawa Timur.
Di sisi ekonomi, Jawa Timur tetap menunjukkan pertumbuhan yang solid dengan angka 5,03 persen (yoy) pada kuartal IV-2024. Pertumbuhan ini didorong oleh meningkatnya aktivitas produksi dan mobilitas masyarakat. Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga masih menjadi faktor utama, sementara dari sisi produksi, industri pengolahan tetap menjadi sektor dominan dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur.
Sebagai provinsi dengan perekonomian terbesar kedua di Pulau Jawa, Jawa Timur memberikan kontribusi 25,23 persen terhadap ekonomi Pulau Jawa dan 14,39 persen terhadap perekonomian nasional pada 2024.
Penerimaan dari sektor Kepabeanan dan Cukai juga mengalami pertumbuhan positif, didorong oleh peningkatan produksi rokok serta ekspor produk turunan Crude Palm Oil (CPO). Harga referensi CPO yang tinggi menjadi faktor utama peningkatan aktivitas ekspor dari Jawa Timur.
Namun, pada Januari 2025, Jawa Timur mencatat deflasi sebesar 0,54 persen, yang terutama disebabkan oleh turunnya harga kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga dengan deflasi 10,1 persen. Deflasi terjadi di 11 kota/kabupaten di Jawa Timur, dengan Kota Surabaya mencatat deflasi terdalam sebesar 0,72 persen.
Secara tahunan, inflasi di Jawa Timur tercatat sebesar 1,06 persen, dengan Kabupaten Banyuwangi mengalami inflasi tertinggi sebesar 1,72 persen. Beberapa komoditas yang mendorong inflasi antara lain daging ayam ras (9,39 persen), minyak goreng (12,13 persen), cabai rawit (31,14 persen), serta emas perhiasan yang mengalami kenaikan harga hingga 35,04 persen. Sebaliknya, beberapa komoditas yang menahan inflasi antara lain tomat (-37,18 persen), cabai merah (-14,02 persen), jeruk (-6,57 persen), serta tarif listrik (-29,93 persen).
Comments