in ,

Hukum Pidana Perpajakan Karena Kealpaan

Hukum Pidana Perpajakan Karena Kealpaan
FOTO: IST

Hukum Pidana Perpajakan Karena Kealpaan

Pajak.com, Jakarta – Secara umum, aturan hukum pidana perpajakan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kendati demikian, khusus untuk hukum pidana di bidang perpajakan, berlaku ketentuan lex specialis derogat legi generalis, yakni ketentuan yang khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.

Perlu diketahui, dalam hukum pidana perpajakan, terdapat unsur kesalahan sebagai salah satu syarat penjatuhan sanksi pidana, berupa perhubungan keadaan jiwa pelaku terhadap perbuatannya.

Kondisi ini dikenal dengan mens rea berupa niat pelaku, baik berupa kealpaan (culpa) dan kesengajaan (dolus) dalam melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Apa itu hukum pidana perpajakan kerena kealpaan? Pajak.com akan mengulasnya dari pelbagai sumber.

Apa itu hukum pidana perpajakan karena kealpaan?

Bentuk kesalahan karena kealpaan, tindak pidana perpajakan karena kealpaan diatur dalam dua UU, yaitu:

1. Pasal 38 dan Pasal 41 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) s.t.d.t.d UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
2. Pasal 24 UU Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Misalnya, dalam Pasal 24 UU PBB disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kealpaan, adalah perbuatan yang dilakukan secara tidak sengaja, lalai, dan kurang hati-hati sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi negara.

Baca Juga  DJP: Skema TER Bantu Karyawan Mitigasi Potensi Bayar Pajak Terlalu Besar di Desember

Dengan demikian, mengutip Kata Data, dalam doktrin hukum pidana, kealpaan yang dapat dijatuhkan sanksi pidana adalah culpa lata, yaitu kelalaian dengan kadar kurang hati-hati sangat besar. Sedangkan, perbuatan kealpaan di bidang perpajakan yang digolongkan culpa levis, yaitu merupakan kelalaian dengan kadar rendah, tidak dijatuhkan sanksi pidana.

Apa saja bentuk kealpaan dalam bidang perpajakan?

Bentuk Tindak Pidana Perpajakan karena Kealpaan Untuk bentuk tindak pidana perpajakan karena kealpaan, diatur dalam Pasal 38 UU KUP. Bentuknya, antara lain kealpaan dalam bentuk tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan dan menyampaikan SPT tahunan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar.

UU KUP juga mengatur mengenai bentuk tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh pejabat. Hal ini diatur dalam Pasal 41 ayat (1) UU KUP. Sebagai informasi, pejabat yang dimaksud adalah petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan.

Pada Pasal 41 ayat (1) UU KUP, pada intinya menyebutkan bahwa tindak pidana perpajakan dapat terjadi jika pejabat lalai, tidak hati-hati atau kurang mengindahkan, sehingga melanggar kewajiban untuk merahasiakan keterangan, atau bukti berkaitan dengan Wajib Pajak yang dilindungi UU di bidang perpajakan.

Baca Juga  IKAPRAMA Bantu Wajib Pajak Terhindar dari Sanksi Keterlambatan SPT

Adapun ketentuan itu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum, serta menjamin kerahasiaan data dan keterangan Wajib Pajak yang berkaitan dengan pelaksanaan UU di bidang perpajakan.

Kealpaan yang dilakukan oleh pejabat yang dimaksud, berkaitan erat dengan Pasal 34 ayat (1) hingga (2a) UU KUP. Aturan tersebut berbunyi:

– Ayat (1), Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 
– Ayat (2), Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
– Pasal 34 ayat (2a) menyebutkan, ada dua pihak yang dikecualikan dari pengenaan sanksi yang diatur dalam Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU KUP, antara lain pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi.

Baca Juga  Data Pendukung yang Diperlukan saat Ajukan Keberatan Penetapan Tarif Kepabeanan

Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara. Bentuk hukum pidana perpajakan karena kealpaan, juga diatur dalam UU PBB, tepatnya pada Pasal 24. Sejatinya, aturan yang tertera dalam Pasal 24 UU PBB ini mirip dengan aturan yang tertera Pasal 38 UU KUP.

Dalam Pasal 24 UU PBB disebutkan, sanksi pidana dapat dijatuhkan terhadap dua perbuatan, yaitu:

– Tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
– Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar. Atas dua perbuatan karena kealpaan ini, sanksi pidana dapat dijatuhkan apabila perbuatan yang dimaksud menimbulkan kerugian bagi negara.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *