Menu
in ,

Hasil PPS Belum Memuaskan, Rasio Pajak Masih Rendah

Hasil PPS Belum Memuaskan

FOTO: KLI Kemenkeu

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengaku masih belum puas terhadap hasil Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang telah digelar 1 Januari 2022 hingga 31 Juni 2021. Sebab saat ini rasio pajak (tax ratio) masih rendah, setidaknya bila dibandingkan dengan negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).

Sekilas mengulas, apa itu rasio pajak? Rasio pajak adalah perbandingan antara total penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di periode yang sama. Sementara PDB adalah total nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara, dikurangi nilai barang dan jasa yang digunakan dalam produksi. Di Indonesia, rasio pajak juga mempunyai arti luas, yakni membandingkan total nilai penerimaan perpajakan, penerimaan sumber daya alam minyak dan gas, serta pertambangan minerba dengan PDB nominal.

“Jadi kalau ngomong puas atau tidak, ya tidak pernah puas. Karena kalau sudah bilang puas, berarti (harusnya) tax ratio kita sudah tinggi. Sedangkan faktanya saat ini tax ratio kita masih rendah. Jadi dengan PPS ini ya tugas kita belum selesai, karena masih panjang, mengingat tax ratio Indonesia masih yang terendah di ASEAN maupun among peers kita. Jadi pasti kita belum puas,” Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Program Pengungkapan Sukarela, dikutip Pajak.com (4/7).

Dengan demikian, ia menegaskan, tugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum usai. Masih banyak pekerjaan untuk memperbaiki kepatuhan Wajib Pajak setelah PPS berakhir pada 30 Juni 2022. Sejatinya, PPS hanya salah satu upaya untuk memperbaiki sistem perpajakan demi meningkatkan kepatuhan dan rasio pajak.

“Posisi tax ratio saat ini tidaklah ideal dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan wilayah yang luas dan perekonomian yang terbuka. Tetangga kita terus memperbaiki iklim perpajakannya. Ini memberikan pressure ke kita terus. Ini adalah tugas terus menerus bagi DJP. Jadi, saya enggak boleh ngomong puas,” ujar Sri Mulyani.

Sebelumnya, Dirjen Pajak Suryo Utomo mengakui, rasio pajak Indonesia semakin menurun. Jika pada 2014, rasio pajak mencapai 13,7 persen, namun menjadi 10,7 persen di tahun 2017. Kemudian, pandemi COVID-19 mengakibatkan rasio pajak semakin terpuruk menjadi 8,33 persen di 2020. Di tahun 2021, rasio pajak naik menjadi 9,11 persen. Dibandingkan rasio pajak Malaysia berada di kisaran 14 persen, Filipina 13,67 persen, Singapura 14,29 persen, Kamboja 15,3 persen.

DJP mengungkap alasan utama memburuknya rasio pajak Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, salah satunya, dari sisi tingkat kepatuhan formal yang tecermin dari penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) tahunan masih relatif rendah.

“Kalau boleh jujur, tax ratio kita masih rendah sehingga diperlukan suatu alat. Kebetulan UU HPP (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) ini memperbaiki UU lain sehingga bisa memperbaiki sistem perpajakan Indonesia. Kalau tax ratio enggak meningkat, ya kedodoran kita untuk membiayai pembangunan,” ungkap Suryo dalam sosialisasi UU HPP, di Palembang, (18/3).

Sebelumnya, Panitia Kerja (Panja) Penerimaan Negara Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta kepada pemerintah menaikkan rasio pajak mencapai 10 persen pada tahun 2023.

“Pemerintah akan menindaklanjuti hasil rapat Panja Penerimaan Negara Komisi XI DPR sebagai berikut, meningkatkan tax ratio penerimaan perpajakan pada 2023 menjadi 9,45 persen sampai dengan 10 persen,” jelas Wakil Ketua Komisi XI DPR Amir Uskara dalam Rapat Kerja dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), (Bappenas), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Pusat Statistik BPS, (8/6).

Untuk mencapai itu, Panja Penerimaan Negara Komisi XI DPR mendorong pemerintah untuk memobilisasi pendapatan negara lebih optimal untuk mencapai konsolidasi dan kesinambungan fiskal. Panja Penerimaan Negara Komisi XI DPR juga meminta agar pemerintah menjaga efektivitas implementasi UU HPP. Di sisi lain, pemerintah dapat memberikan insentif perpajakan yang terarah. Dengan begitu, reformasi perpajakan yang dilakukan bisa mendukung pemulihan ekonomi nasional. DPR menghitung, setidaknya pemerintah harus bisa mengumpulkan penerimaan Rp 1.978 triliun di 2023 untuk mencapai rasio pajak itu.

“Jika tax ratio 2023 diproyeksikan sama dengan tax ratio pada tahun 2019 yang sebesar 9,77 persen, maka pendapatan perpajakan pada tahun 2023 akan diproyeksikan pada kisaran Rp 1.978 triliun. Dalam rangka mencapai konsolidasi fiskal yang berkualitas dan mendukung kesinambungan fiskal, pemerintah harus terus menggenjot pendapatan negara dengan lebih optimal pada tahun 2023 dengan tetap menjaga iklim investasi dan berkelanjutan dunia usaha,” ujar Amir.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version