in ,

Hadapi Permasalahan “Core Tax”, Wajib Pajak Perlu Lakukan Ini

Hadapi Permasalahan “Core Tax”
FOTO: Aprilia Hariani

Hadapi Permasalahan “Core Tax”, Wajib Pajak Perlu Lakukan Ini

Pajak.com, Jakarta – Implementasi Core tax masih dihantui oleh rupa-rupa kendala teknis hingga saat ini. Oleh karena itu, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Ajib Hamdani serta Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI Pino Siddharta memberi solusi bagi Wajib Pajak dalam hadapi permasalahan sistem yang mulai digunakan pada 1 Januari 2025 tersebut.

Solusi disampaikan kedua narasumber dalam Podcast perdana IKPI bersama Pajak.com dengan mengangkat tema ’Coretax: Lanjut atau Berhenti?’ yang dilakukan di Studio Podcast IKPI, Fatmawati, Jakarta Selatan, pada (25/2). Podcast dipandu oleh moderator dari Ketua Departemen Humas IKPI Jemmi Sutiono.

Ajib memetakan dua solusi yang perlu dilakukan Wajib Pajak. Pertama, pastikan Wajib Pajak selalu mengikuti update informasi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Beberapa pembaruan regulasi baru, seperti dibukanya kembali aplikasi e-Faktur untuk seluruh Pengusaha Kena Pajak (PKP) mulai 12 Februari 2025 melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-54/PJ/2025.

Kemudian, dihapuskannya denda atau sanksi pembayaran/pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) lewat Keputusan Dirjen Pajak KEP-67/PJ/2025 yang berlaku mulai 27 Februari 2025.

Kedua, solusi yang perlu dilakukan Wajib Pajak adalah jangan lelah untuk trial and error menggunakan core tax.

”Karena kita enggak pernah update informasi, tau-tau hari ini keluar aturan baru, besok keluar aturan baru, kita akan ketinggalan. Lalu, kalau kita hanya update aturan saja, tidak melakukan trial and error, maka kita enggak pernah memahami ada problem-problem apa, entah menu ’Submit’ di core tax hilang, tau-tau deposit [salah satu fitur layanan dalam core tax] kita hilang. Ini kondisi yang terjadi di lapangan faktanya yang kita capture seperti itu,” jelas Ajib dikutip Pajak.com(5/3).

Ia menekankan bahwa pengusaha memiliki harapan besar kepada pemerintah untuk cepat tanggap menyempurnakan core tax sehingga dapat mewujudkan spirit memberikan kemudahan administrasi perpajakan. Ajib mengingatkan, kompleksitas administrasi akan menambah beban baru bagi pengusaha yang sejatinya sudah membantu pemerintah dalam mengumpulkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga melaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) masa. Belum lagi pengusaha berkewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh).

Baca Juga  Hadapi Kendala Implementasi ”Core Tax”, Asosiasi Pengusaha Berharap Ini ke Pemerintah

”Namun, core tax is a must terus dijalankan. Maka, yang paling penting adalah kita sebagai Wajib Pajak dan utamanya pemerintah tidak boleh putus asa. Pastikan pemerintah memitigasi jangan sampai pajak yang seharusnya dibayar itu tertunda dan kemudian mencegah timbulnya sanksi [karena keterlambatan/kesalahan akibat kendala core tax],” tegas Ajib.

Selain dua solusi itu, Pino menyarankan Wajib Pajak memahami penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Pino menjelaskan bahwa PMK ini menetapkan perubahan administrasi perpajakan melalui core tax yang jauh berbeda dibandingkan dengan sistem sebelumnya.

”Kalau dulu membuat faktur pajak, yang muncul pasti nama direktur PIC [person in charge]. Sedangkan, di core tax, dia akan mengikuti pihak yang diberikan kuasa atau impersonate. Ini merupakan barang baru, Wajib Pajak termasuk konsultan pajak kebingungan, bukan hanya soal definisi tapi juga konsekuensi yang akan terjadi bagi pihak-pihak yang diberikan impersonate atau yang memberikan impersonate. Akibat hukumnya belum diperhatikan, tegas Pino.

Seirama dengan itu, penting bagi Wajib Pajak memenuhi berbagai persyaratan untuk menjadi PIC dan impersonate. Pino menyebut, untuk menjadi PIC atau impersonate tidak serta-merta hanya berstatus karyawan biasa, melainkan harus punya surat kuasa khusus yang mengacu PMK.

”Perusahaan harus perhatikan bahwa bagi karyawan yang diberikan kuasa maka harus memenuhi syarat salah satunya adalah dia pernah ikut kursus Brevet atau pernah mengikuti pendidikan perpajakan minimal setingkat D-III, atau pernah lulus Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak [USKP]. Kalau seorang direktur memberikan kuasa kepada karyawannya tidak memenuhi persyaratan yang disebutkan di dalam PMK, akibatnya sebenarnya sangat fatal,” ungkap Pino.

Ia melanjutkan, mengacu Pasal 13 ayat 5 Undang-Undang PPN disebutkan bahwa faktur pajak dianggap sah apabila memenuhi syarat formal dan substantif. Jika persyaratan formal tidak terpenuhi, maka faktur pajak bisa dianggap cacat dan bermuara pada sengketa pajak.

Simak obrolan lengkapnya dalam podcast yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat IKPI bekerja sama dengan Pajak.com, didukung oleh Taxco Solution, dengan narasumber Analis Kebijakan Ekonomi APINDO Ajib Hamdani dan Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI Pino Siddharta berikut ini https://www.youtube.com/watch?v=GMJFVanbKOM.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *