GNV Consulting Petakan Strategi Penerapan Pajak Minimum Global untuk Perusahaan Multinasional
Pajak.com, Jakarta – Indonesia resmi mengadopsi skema pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 yang berlaku mulai 1 Januari 2025. Merespons regulasi ini, GNV Consulting Services menggelar acara “Coffee Talk: A Closer Look at the Global Minimum Tax Implementation Through PMK-136/2024” pada 12-13 Februari 2025, yang bertujuan agar perusahaan multinasional atau multinational enterprise (MNE) dapat mempersiapkan strategi kepatuhan perpajakannya.
Kepada Pajak.com, Founder/Senior Tax Partner of GNV Consulting Services Ahdianto berharap acara ini dapat membantu pemerintah dalam mengedukasi Wajib Pajak yang akan terdampak oleh PMK Nomor 136 Tahun 2024. Terlebih, PMK tersebut memiliki kompleksitas yang tinggi karena mencakup 226 halaman, 16 bab, dan 74 pasal.
”Pemilihan tema coffee talk karena kami ingin acara personal, sehingga kami membagi dua hari menjadi empat sesi agar Wajib Pajak bisa lebih santai membahasnya. Di sini kami berusaha untuk menyederhanakan bahasanya berdasarkan pemahaman praktisi pajak dan pemerintah. Tema GMT ini akan banyak berpengaruh kepada Wajib Pajak atau perusahaan besar yang merupakan klien kami, ” ungkap Ahdianto, dikutip Pajak.com (17/2).
Keempat sesi tersebut dihadiri oleh sekitar 150 peserta dengan menghadirkan narasumber dari para praktisi pajak dan kepabeanan GNV Consulting Services, Analis Pajak Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Melani Dwi Astuti, hingga Member of the Global Minimum Tax Pillar II Team Tom Hancock. Ke depan, GNV Consulting Services akan mengadakan acara dengan skala yang lebih besar sehingga dapat mengedukasi lebih banyak Wajib Pajak dari berbagai sektor.
”Tentunya kami akan terus memperkuat sinergi dengan pemerintah untuk membahas target kebijakan dalam diskusi-diskusi yang GNV Consulting Services selenggarakan. Kami ingin mempertemukan keduanya agar bisa didiskusikan dan diuji apakah tujuan dari kebijakan itu dapat dipahami oleh Wajib Pajak atau konsultan pajak. Seperti pada sesi diskusi dengan BKF, Wajib Pajak bisa secara interaktif mempertanyakan interpretasi aturan GMT ini,” ujar Ahdianto.
Oleh karena itu, Coffee Talk diisi dengan segmen tanya-jawab interaktif peserta dengan narasumber.
Tantangan dan Strategi Penerapan GMT
Di sela-sela sesi Coffee Talk, Partner of GNV Consulting Services Jeklira Tampubolon (Lira) menekankan perlunya pemahaman yang komprehensif dan saksama dalam mematuhi PMK Nomor 136 Tahun 2024. Pasalnya, regulasi ini masih dipenuhi dengan istilah-istilah yang diadopsi dari Pilar II G20/ Inclusive Framework Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Secara garis besar, Lira menyimpulkan bahwa GMT merupakan hasil dari konsensus Pilar II G20 dan Inclusive Framework OECD untuk menghindari gap antara negara-negara yang menerapkan pajak lebih tinggi dengan negara yang memberlakukan pajak lebih rendah. Dengan demikian, tidak terjadi pergeseran laba atau penggerusan basis pajak dari satu negara ke negara lain.
Melalui PMK Nomor 136 Tahun 2024, GMT dikenakan kepada Wajib Pajak badan yang merupakan bagian dari grup MNE dengan omzet konsolidasi global sedikitnya 750 juta euro. Wajib Pajak ini dikenakan pajak minimum global dengan tarif 15 persen mulai tahun pajak 2025.
”GMT ini menguntungkan untuk negara, tapi ada beban administrasi, ada tambahan pajak yang harus ditanggung grup MNE di Indonesia,” ujar Lira.
Ia memetakan beberapa tantangan dan strategi yang bisa dilakukan oleh MNE dalam mengimplementasikan PMK Nomor 136 Tahun 2024. Pertama, dari sisi informasi. Lira menyarankan agar Wajib Pajak membuka informasi yang sebelumnya confidential. Sebab penerapan GMT memerlukan transparansi untuk menetapkan tarif efektif atau Effective Tax Rate (ETR).
Kedua, MNE harus memperoleh laporan keuangan dari semua grup di negara tempat perusahaan berada, baik grup yang telah mengadopsi GMT maupun belum. Ketiga, MNE harus memahami perhitungan jenis pajak baru. Lira mengingatkan bahwa skema ETR tidak sama dengan perhitungan pajak yang sudah dibayarkan MNE.
”Untuk itu, perusahaan harus menyiapkan sumber daya manusia khusus untuk memahami penghitungan ETR, tambahan pajaknya, alokasi dari tambahan pajak,” tambah Lira.
Keempat, tantangan pelaporan tambahan. Karena penerapan GMT menuntut adanya Surat Pemberitahuan (SPT) Global Anti-Base Erosion (GloBe).
Seirama dengan itu, Partner of GNV Consulting Services IDM Agung Nugraha (Dewa) menyampaikan adanya pelaporan tambahan yang harus disampaikan MNE, antara lain transfer pricing documentation (TP-doc), SPT Tahunan Income Inclusion Rule (IIR), SPT Tahunan Undertaxed Profits Rule (UtPR), SPT Tahunan Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT), GloBE Information Return (GIR), dan ratifikasi.
”Dokumen-dokumen ini harus dipersiapkan dengan baik oleh perusahaan-perusahaan. Timely report dan timely payment harus di maintenance,” ujar Dewa.
Kelima, MNE harus memperhitungkan ETR yang sesuai dengan standardisasi akuntansi global, yaitu International Financial Reporting Standards (IFRS). Karena yang menjadi patokan adalah laporan rekonsiliasi dari perusahaan pusat. Menurut Dewa, hal ini membutuhkan waktu yang relatif panjang bagi perusahaan di Indonesia.
Keenam, MNE harus melihat lagi struktur investasi dan kepemilikan saham di Indonesia. Pasalnya, GMT berimplikasi pada tidak adanya fasilitas perpajakan, seperti tax holiday atau pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) badan hingga nol persen. Meski begitu, Dewa optimistis iklim investasi di Indonesia tidak menurun seiring dengan fasilitas fiskal lain yang diberikan pemerintah.
”Mengutip yang disampaikan BKF, ke depan Indonesia akan memberikan insentif perpajakan lain. Apalagi selain tax holiday, kita ada tax allowance, super tax deduction. Misalnya, negara saingan kita terdekat adalah Vietnam, yang sudah menetapkan GMT, tapi mereka sudah memperkenalkan fasilitas baru, seperti dalam bentuk cash grant,” ungkap Dewa.
Optimisme senada juga diungkapkan oleh Senior Advisor GNV Consulting Services Suppirman. Menurutnya, penerapan GMT di Indonesia bukan hanya sekadar menyepakati konsensus global, melainkan berpotensi memberikan benefit bagi negara maupun investor.
”Selama ini Indonesia termasuk negara yang sangat rajin memberikan fasilitas-fasilitas untuk menarik investasi, diantaranya memberikan pajak sampai nol. Jadi, pemerintah perlu mencari cara untuk menarik investasi lain, bukan dari cara memberikan fasilitas pajak lagi,” ujar Pirman.
GNV Consulting Services berharap aturan pelaksanaan PMK Nomor 136 Tahun 2024 dapat segera diterbitkan agar Wajib Pajak dapat mengimplementasikan GMT sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Comments