Ekonom Sebut Pembentukan BPN Perlu Didahului Modernisasi Administrasi dan Komitmen Politik
Pajak.com, Jakarta – Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menekankan bahwa pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) yang direncanakan oleh pemerintahan baru harus didahului dengan modernisasi administrasi pajak serta kepastian dukungan komitmen politik yang kuat. Dalam proyeksi perekonomian Indonesia 2025, Riefky menyebutkan bahwa pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto berencana memisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dengan membentuk lembaga penerimaan yang lebih otonom atau semi-otonom. Pemerintah meyakini, pembentukan BPN ini dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan penerimaan negara dan memperbaiki akuntabilitas sistem perpajakan Indonesia.
“Reformasi pajak dengan membentuk BPN harus diiringi dengan modernisasi administrasi, serta dukungan politik yang konsisten. Sistem yang baik harus mencakup penyesuaian proses bisnis untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, memperbaiki layanan kepada mereka, dan menciptakan transparansi dalam administrasi pajak,” kata Riefky dalam kajian berjudul Secular Stagnation ini, dikutip Pajak.com, Rabu (06/11).
Riefky menyebut, rencana ini bukanlah hal baru, karena gagasan serupa pertama kali diperkenalkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati dan telah dikaji ulang beberapa kali selama masa pemerintahan Presiden Jokowi, namun belum jua terealisasi. Menurut Riefky, meskipun pemisahan ini sudah lama dibahas, prospek keberhasilannya tetap menarik untuk diikuti.
Kini, dengan pemerintahan yang baru, rencana untuk membentuk BPN kembali mencuat sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas sistem pajak di Indonesia.
“Pemisahan Kemenkeu dan pembentukan BPN bertujuan untuk meningkatkan efektivitas administrasi pajak dan pengumpulan penerimaan negara. Ini sejalan dengan upaya untuk memperbaiki akuntabilitas, transparansi, dan produktivitas lembaga pajak,” ujar Riefky.
Pembentukan lembaga semi-otonom seperti BPN ini sejatinya telah lebih dulu diterapkan di sejumlah negara berkembang, terutama di Afrika dan Amerika Latin. Model Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA) yang diterapkan di negara-negara tersebut bertujuan untuk memisahkan administrasi pajak dari pengaruh politik, serta memberikan fleksibilitas lebih besar dalam pengelolaan penerimaan negara.
Namun, dampak positif dari penerapan model ini masih bersifat bervariasi. Dalam kajian yang dikutip oleh Riefky, beberapa penelitian menunjukkan bahwa meskipun beberapa negara berhasil dengan model ini, tidak semua negara mengalami peningkatan signifikan dalam penerimaan pajak. Di Afrika Selatan, misalnya, pembentukan SARA pada tahun 1990-an terbukti berhasil meningkatkan pengumpulan pajak dan rasio pajak nasional mencapai 25 persen secara progresif antara tahun 1997 hingga 2002. Keberhasilan ini, menurut penelitian Junquera-Varela et al. (2019), didorong oleh kerja sama erat antara pemerintah dan sektor swasta, konsultasi yang substansial dengan perwakilan dari berbagai pemangku kepentingan, serta adanya sistem pemotongan pajak pay-as-you-earn yang memudahkan proses pemungutan pajak.
Namun, Riefky memperingatkan bahwa meskipun terdapat contoh keberhasilan, pembentukan BPN di Indonesia harus dengan cermat mempertimbangkan pengalaman negara lain yang belum tentu berhasil. Sebagai contoh, di Peru, meskipun model SARA yang memisahkan National Tax Administration Superintendency (The Superintendencia Nacional de Aduanas y de Administración Tributaria/SUNAT) dari Kemenkeu pada awalnya mampu meningkatkan rasio pajak dari 9 persen pada 1988 menjadi 13 persen pada 1997, tetapi pengaruh politik yang kuat dan kebijakan pajak yang tidak konsisten menghambat keberlanjutannya.
Hal serupa juga terjadi di Kenya, di mana meskipun Kenya Revenue Authority (KRA) dibentuk pada 1995, tiga departemen penerimaan meliputi Departemen Pajak Penghasilan (PPh), PPN, dan Bea Cukai terus beroperasi secara independen, tanpa adanya perubahan yang diimplementasikan untuk meningkatkan kepatuhan maupun layanan terhadap Wajib Pajak. Artinya, keberhasilan SARA di beberapa negara ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti stabilitas politik dan reformasi struktural yang mendalam, yang tidak selalu dapat dicapai dengan cepat.
Ia juga menekankan bahwa, meskipun pemisahan ini bisa meningkatkan efektivitas, pembentukan BPN tidak dapat dianggap sebagai solusi instan. Menurutnya, keberhasilan pembentukan BPN sangat bergantung pada beberapa faktor kunci. Salah satunya adalah adanya koordinasi yang kuat antara lembaga baru ini dan Kemenkeu, serta dukungan dari pihak-pihak yang terlibat, termasuk sektor swasta, kelompok masyarakat, dan politisi.
Selain itu, Riefky juga mencatat bahwa untuk mewujudkan BPN yang efektif, pemerintah harus dapat menjaga hubungan yang baik dengan Wajib Pajak dan memastikan bahwa sistem administrasi pajak lebih efisien. Sebagai langkah jangka panjang, pembentukan BPN diharapkan dapat memperkuat sistem penerimaan negara, mengurangi ketergantungan pada Kemenkeu, dan menciptakan sistem yang lebih independen, transparan, dan efisien dalam pengumpulan pajak.
Namun, Riefky menekankan bahwa hal ini harus dilakukan dengan hati-hati dan perencanaan yang matang untuk menghindari jebakan yang sama dengan yang dialami negara lain dalam penerapan SARA. Riefky bilang, pembentukan otoritas penerimaan seperti yang terlihat di negara-negara berkembang lainnya memberikan persepsi yang campur aduk. Ini menunjukkan bahwa efektivitasnya dalam meningkatkan penerimaan, memperbaiki akuntabilitas, dan mendorong kepatuhan masih belum meyakinkan.
“Berdasarkan implementasi dan pengalaman di berbagai negara, pembentukan otoritas penerimaan memerlukan modernisasi administrasi, pemastian dukungan dan komitmen politik, pencegahan korupsi, koordinasi yang kuat dengan Kemenkeu, dan peningkatan hubungan dengan Wajib Pajak,” tutup Riefky.
Comments