Ekonom: Kenaikan PPN dan “Tax Amnesty” Jilid III Jadi Strategi Pemerintah untuk Dongkrak Penerimaan Pajak
Pajak.com, Jakarta – Pemerintah tengah menghadapi tantangan besar dalam mencapai target penerimaan pajak di 2025. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen serta wacana Tax Amnesty Jilid III disebut-sebut sebagai langkah strategis untuk mengatasi tekanan dalam realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana, menyoroti realisasi APBN 2024 yang tidak sesuai harapan, khususnya pada penerimaan pajak. Menurutnya, kondisi tersebut membuat pemerintah semakin terdesak untuk mengambil langkah radikal demi mencapai target ambisius di 2025.
“Target kenaikan penerimaan di 2025 menjadi lebih tinggi dan sulit dicapai tanpa ada tindakan radikal. Keterdesakan inilah yang membuat pemerintah banyak mewacanakan berbagai kebijakan fiskal kontroversial seperti kenaikan PPN, pengalihan subsidi BBM, hingga tax amnesty jilid III,” ujar Andri dalam keterangan resmi, dikutip Pajak.com pada Selasa (13/1/2025).
Ia menambahkan, langkah yang lebih bijak sebenarnya adalah dengan melakukan efisiensi terhadap program-program yang tidak prioritas bagi masyarakat.
Kinerja APBN 2024 Membebani Target 2025
Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky, menilai kinerja APBN 2024 yang dipaparkan pemerintah memperberat pengelolaan fiskal tahun berikutnya. Ia menjelaskan, target pendapatan APBN 2025 sebesar Rp3.005 triliun membutuhkan kenaikan 5,72 persen dibandingkan realisasi sementara 2024. Meski bukan mustahil, angka tersebut memerlukan peningkatan kinerja yang signifikan.
“Target kenaikan tersebut memerlukan realisasi kinerja kenaikan lebih dari dua kali lipat dari tahun 2024 yang hanya naik 2,10 persen,” ujar Awalil.
Lebih jauh, realisasi penerimaan pajak 2024 yang hanya mencapai Rp1.932,4 triliun atau 97,2 persen dari target, membuat pemerintah harus menaikkan penerimaan pajak sebesar 13,29 persen di 2025. Angka ini dinilai sangat tinggi, apalagi jika mempertimbangkan kondisi perekonomian yang diproyeksikan belum akan membaik.
“13,29 persen ini merupakan target kenaikan yang sangat tinggi jika dilihat data historis selama ini,” jelasnya.
Ia juga menyoroti realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) 2024 yang hanya mencapai 93,2 persen dari target. Untuk memenuhi target 2025, penerimaan PPh harus meningkat hingga 13,79 persen, yang menurut Awalil tidak realistis.
“Shortfall penerimaan pajak ini mengindikasikan perekonomian sedang lesu. Transaksi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan tidak sesuai harapan,” kata Awalil.
Kenaikan PPN ke 12 Persen Hanya untuk Barang Mewah
Presiden Prabowo Subianto pada Selasa (31/12/2024) mengumumkan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Prabowo menegaskan bahwa kebijakan ini hanya berlaku untuk barang dan jasa tertentu yang tergolong mewah.
“Kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah, yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah, yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat berada, masyarakat mampu,” ujar Prabowo.
Barang-barang mewah yang dikenai PPN 12 persen meliputi kendaraan bermotor tertentu, hunian dengan harga jual Rp30 miliar atau lebih, kapal pesiar, hingga senjata api yang tidak digunakan untuk kepentingan negara. Selain itu, pemerintah memastikan kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, dan jasa pendidikan tetap dibebaskan dari PPN.
Prabowo juga menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, inflasi rendah, serta mendorong pemerataan ekonomi.
“Tax Amnesty” Jilid III dalam Prolegnas 2025
Wacana pelaksanaan tax amnesty jilid III kembali mengemuka setelah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Ketua Komisi XI DPR Misbakhun, menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak merupakan langkah strategis untuk memperkuat hubungan kerja antara pemerintah dan DPR.
“Ketika anggota Komisi XI memberitahu bahwa di dalam long list itu ada nama usulan RUU tax amnesty, maka kita mengusulkan. Kenapa? Kita ingin itu penguatan,” kata Misbakhun kepada media pada November lalu.
Ia menjelaskan bahwa meski RUU ini telah masuk Prolegnas, prosesnya masih panjang hingga dapat dijadikan prioritas pembahasan. Menurutnya, idealnya pelaksanaan tax amnesty jilid III dilakukan pada 2025 agar dapat mengakomodasi cut-off untuk tahun pajak 2024.
“Menurut saya, sebaiknya di tahun 2025, karena di tahun itu nanti cut-off tax amnesty di tahun 2024, sehingga ke depannya kita sudah membersihkan hati kita masing-masing untuk menyelesaikan sektor,” pungkasnya.
Bright Institute menilai bahwa, kebijakan kenaikan PPN dan tax amnesty jilid III merupakan bentuk respons terhadap tantangan fiskal yang dihadapi pemerintah. Namun, langkah ini diharapkan dapat dibarengi dengan efisiensi program serta strategi yang benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat luas.
Comments