Menu
in ,

DPR Dukung Pemerintah Lawan Praktik Penggelapan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Dalam rapat bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pertengahan bulan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan penerimaan pajak global berpotensi raib sekitar Rp 3.360 triliun per tahun akibat praktik penghindaran pajak melalui langkah pemindahan keuntungan usaha antar negara (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS). Komisi XI DPR RI pun menyatakan dukungannya kepada pemerintah untuk melawan segala bentuk praktik penggelapan dan penghindaran pajak, termasuk transfer pricing.

“Kami mendukung pemerintah untuk melawan segala bentuk praktik penggelapan dan penghindaran pajak, termasuk transfer pricing,” kata Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam dalam konferensi pers daring Selasa (28/9/21).

Ecky menyarankan agar pemerintah punya cara lain yang dibenarkan oleh UU untuk perusahaan yang menghindari, mengelapkan dan transfer pricing.

Menurut Ecky, pembahasan mengenai transfer pricing atau upaya menghindari kewajiban pajak yang menyebabkan hilangnya pendapatan negara, perlu menjadi pembahasan dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang saat ini tengah dibahas oleh Komisi XI DPR bersama Kementerian Keuangan.

Seperti disampaikan Menkeu dalam rapat bersama DPR, praktik BEPS dilakukan perusahaan dengan memanfaatkan isu kerahasiaan bank dan isu perbedaan tarif PPh Badan di banyak negara atau yurisdiksi. Selain melalui BEPS, potensi penerimaan pajak global juga bisa menyusut dari isu pembagian hak pemajakan yang adil atas laba usaha perusahaan berbasis digital.

Ecky menyampaikan, ada ribuan perusahaan di Indonesia termasuk perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia selama bertahun-tahun, tapi tidak bayar pajak karena mengaku rugi dan melakukan transfer pricing. Ia berharap, pemerintah harus bisa mencegah dan mengatasi praktik tersebut.

Di sisi lain, Ecky mengatakan bahwa fraksinya menolak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan mendorong agar tarif PPN setinggi-tingginya 10 persen. Menurut dia, kenaikan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi industri. Dengan kata lain, hal ini akan kontraproduktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional karena sumber PPN terbesar berasal dari dalam negeri seperti konsumsi masyarakat dan PPN impor yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri.

“Fraksi kami juga menolak rencana pemerintah tentang pengenaan PPN pada draf RUU KUP pada sejumlah barang/jasa seperti jasa pendidikan, kesehatan hingga jasa kesenian, karena berpotensi menambah beban masyarakat berpendapatan rendah,” kata Ecky.

Tak hanya itu, Ecky juga menyampaikan, fraksinya juga menolak pasal-pasal terkait dengan tax amnesty jilid kedua dan/atau sunset policy karena hanya akan membuka ruang ketidakpatuhan bagi Wajib Pajak.

Ecky mengatakan, Fraksi PKS juga mengusulkan dan memperjuangkan kebijakan tentang omzet/penghasilan bruto Wajib Pajak pelaku UMKM yang tidak dikenakan pajak penghasilan final ditingkatkan hingga mencapai Rp 1 miliar. Kemudian, PKS juga mengajukan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) hingga Rp 8 juta.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version