Menu
in ,

DJP Siarkan Hari Pajak dan Reformasi Perpajakan

DJP Siarkan Hari Pajak

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Hari Pajak di Indonesia diperingati setiap tanggal 14 Juli. Kasubdit Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti mengatakan, Hari Pajak merupakan momentum yang sangat bersejarah dan penting bagi DJP maupun Wajib Pajak.

“Tentu saja ini sebuah sejarah yang sangat berarti buat kita di DJP. Sekarang ini negara-negara di dunia hampir bisa dipastikan sumber penerimaan negara itu salah satunya dari pajak. Bahkan, negara-negara yang dulunya kaya dengan minyak, sekarang juga sudah mulai memungut pajak, misalnya Brunei Darussalam,” tutur perempuan yang akrab disapa Ewie ini dalam Podcast Cermati di YouTube resmi DJP, Kamis (14/7).

Ewie menuturkan, penetapan Hari Pajak melalui proses dan pertimbangan yang cukup panjang. Hal ini bermula dari penelusuran sejarah dalam suatu sidang panitia kecil Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 14 Juli 1945. Dalam sidang itu, kata “pajak” muncul dalam rancangan UUD Kedua pada Bab VII Hal. Keuangan, tepatnya pada Pasal 23 butir kedua, yang berbunyi “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.

“Pada saat sidang itulah pertama kali kata ‘pajak’ disebutkan, jadi pada saat sidang panitia kecil yang membicarakan masalah keuangan. Pembahasan itu berlanjut, tidak berhenti pada panitia kecil saja. Tapi kemudian terus berlanjut sampai dengan sidang kedua, pada tanggal 10-17 Juli 1945. Jadi zaman kemerdekaan, pada saat itu bahkan negara Indonesia pun belum lahir, tapi sudah mulai dibicarakan ketika negara terbentuk, keuangannya dari mana, bagaimana kita membiayai negara. Itulah mulai dipikirkan tentang pajak,” jelas Ewie.

Dalam siniar itu, Ewie juga menuturkan reformasi perpajakan yang pertama kali dilakukan pada 1983 silam. Kala itu, pemerintah melakukan pembaruan sistem perpajakan nasional.

“Waktu itu diturunkan lima paket perpajakan dalam artian lima Undang-Undang KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan), Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang PPN (Pajak Pertambahan Nilai), pajak bea meterai, PBB. Yang lebih mendasar lagi adalah kita mengganti sistem perpajakan yang official assessment menjadi self assessment,” sambungnya.

Ewie menyebut kalau reformasi perpajakan pertama merupakan milestone yang sangat masif pada saat itu, karena masyarakat atau Wajib Pajak dipersilakan untuk menghitung, menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.

“Dan kami di DJP hanya mengawasi ‘benar enggak sih?’ Makanya kalau diperiksa itu terminologinya menguji kepatuhan,” imbuhnya.

Reformasi perpajakan berlanjut di tahun 2008, saat DJP memulai gebrakan pertama dengan menerapkan program pengampunan pertama berjudul Sunset Policy. Ewie bilang, ini langkah awal yang diambil pemerintah agar Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban pajaknya secara patuh. Di tahun yang sama, DJP juga mengeluarkan kebijakan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

“Enggak semua orang harus bayar pajak tapi ada threshold-nya, karena secara internasional its common kalau tidak mencapai threshold tidak usah bayar pajak. Karena nanti akan menimbulkan kesan, ‘masa orang makan aja susah harus dipajakki?'” kata Ewie.

Salah satu wujud reformasi perpajakan lainnya adalah transformasi kantor pelayanan pajak (KPP) yang lebih modern. Saat itu, fiskus juga diberikan remunerasi yang lebih baik diiringi dengan komitmen integritas dan profesional yang lebih mumpuni.

“Jadi ketika berkomitmen untuk to do right, and then you will get paid more. Artinya, itu adalah pemikiran yang sangat logical waktu itu sehingga kami perketat integritasnya, profesionalismenya kami tingkatkan, dan ketika kita bicara profesional ‘you did good, you also paid good’. Jadi ketika bekerja dengan baik, kita mendapatkan pembayaran yang lebih baik. Apalagi sekarang sudah ada pengawasan internalnya, ada KITSDA, di KPP ada UKI (Unit Kepatuhan Internal) sehingga ini menjadi paket yang lengkap,” jelasnya.

Pada akhirnya, Ewie mengatakan kalau reformasi perpajakan merupakan proses yang terus berkelanjutan, dan DJP terus melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Ia pun menyadari, DJP merupakan instansi yang sangat dibutuhkan oleh negara untuk mengawal keberlangsungan APBN, sehingga reformasi terus dibutuhkan karena bertujuan untuk menyukseskan DJP sebagai pengumpul penerimaan pajak.

“Apa pun yang kami lakukan dari sisi SDM, IT, database, organisasi dan peraturan-peraturannya itu semua ditujukan untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya untuk para stakeholder. Untuk itu, mari kita sukseskan reformasi perpajakan, karena di tahun 2023 kita akan mempunyai sistem yang baru, sistem yang sophisticated yang sekali lagi ditujukan untuk memudahkan stakeholder juga memberikan kemudahan bagi pegawai DJP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,” pungkas Ewie.  

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version