in ,

DJP: Penerapan MAP di Indonesia Dinilai Baik

DJP Penerapan MAP di Indonesia Dinilai Baik
FOTO : IST

Pajak.com, Jakarta – Di tingkat global, Indonesia dinilai baik dalam menyelesaikan sengketa perpajakan melalui mutual agreement procedure (MAP). Hal itu dikonfirmasi oleh Kepala Subdirektorat (Subdit) Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan Internasional (PPSPI) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti, pada Jumat siang (19/2).

Mekanisme MAP atau prosedur persetujuan bersama merupakan sebuah alternatif yang ditawarkan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam menyelesaikan sengketa pajak, terutama transfer pricing (TP). Seperti diketahui TP dapat menimbulkan sejumlah risiko, antara lain risiko adjustment, pengenaan pajak berganda, dan sebagainya.

Di Indonesia, MAP diatur dalam PMK 49/PMK.03/2019. Berdasarkan aturan ini DJP memiliki batas waktu melaksanakan perundingan maksimal 24 bulan sejak permohonan diterima. Mekanisme awal yang dilakukan oleh DJP adalah menganalisis informasi atas dokumen yang diajukan. Setelahnya DJP akan memutuskan permohonan itu diterima atau ditolak. Jika diterima, pejabat berwenang (Direktorat Perpajakan Internasional) akan berunding dengan pemohon.

Baca Juga  Jelang Lebaran, DJP Imbau Wajib Pajak Tidak Berikan Parsel

“Betul, di mata dunia internasional kita punya mekanisme yang cukup baik dalam penyelesaikan sengketa, transfer pricing, melalui MAP. Outcome dari penyelesaian sengketa transfer pricing secara domestik seringkali merupakan situasi win-lose, antara ditolak atau dikabulkan. Konsekuensi lainnya adalah otoritas pajak negara lain belum tentu mengakui putusan yang dihasilkan dari domestic remedy, sehingga tetap terdapat kemungkinan adanya double taxation,” jelas perempuan yang akrab dipanggil Ewie ini.

Singkatnya, melalui MAP yurisdiksi akan mengupayakan penyelesaian sengketa yang mufakat. Sebelumnya penyelesaian sengketa keberatan dan banding hanya melalui pengadilan pajak.

Mengutip buku Gagasan dan Pemikiran Sektor Perpajakan, untuk meningkatkan kepastian dan efektivitas untuk Wajib Pajak (WP) yang mengajukan MAP, group of twenty/G20 (kelompok 20 ekonomi utama) dan Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) telah menetapkan rencana aksi 14, making dispute mechanism resolution more effective. Keberhasilan yurisdiksi menerapkan skema itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama pengalaman otoritas pajak menangani sengketa melalui MAP.

Baca Juga  Jokowi dan Jajaran Menteri Lapor SPT secara “On-Line”

Di dunia, tren penyelesaian sengketa pajak melalui MAP mengalami peningkatan. OECD mencatat, ada 2.700 sengketa pajak yang hendak diselesaikan melalui MAP.

Ewie menyebut, pengajuan MAP di Indonesia tahun 2019 sebanyak 74, sedangkan tahun 2020 tercatat 61. Kendati demikian, menurut OECD tingkat penyelesaian MAP Indonesia berkisar 55,97 persen atau lebih baik dibandingkan dengan negara maju, sebut saja Jepang 54,41 persen atau Singapura 50,75 persen.

Ditulis oleh

Baca Juga  Kanwil DJP Jaksus dan Politeknik Jakarta Internasional Teken Kerja Sama Inklusi Perpajakan

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *