Menu
in ,

DJP Pastikan Punya Data Penguji untuk Tax Amnesty Jilid II

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pastikan telah memiliki data penguji untuk program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak atau tax amnesty jilid II yang mulai berlaku 1 Januari—30 Juni 2022. Data penguji tax amnesty jilid II DJP berasal dari hasil pertukaran informasi keuangan antar negara atau Automatic Exchange of Information (AEoI).

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan, hal itu berbeda pada program Pengampunan Pajak atau tax amnesty jilid I pada tahun 2016—2017. Kala itu, DJP belum memiliki akses AEoI maupun data keuangan dari perbankan dalam negeri.

“Kami terus kumpulkan data informasi sebagai penguji atas pelaporan dari Wajib Pajak. Sekarang kami meminta para Wajib Pajak untuk bersiap diri memberikan laporan. Karena akses informasi yang kini sudah dimiliki DJP akan jadi pembanding ketika para Wajib Pajak menyampaikan aset,” jelas Suryo dalam konferensi pers Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), pada (7/10).

Suryo juga mengatakan, tax amnesty jilid II dilakukan selama enam secara on-line. Ia berharap, periode itu Wajib Pajak orang pribadi atau badan bisa mengungkapkan aset mereka secara sukarela.

“Secara on-line, selain lebih mudah dan efisien, juga bertujuan untuk mengurangi interaksi Wajib Pajak dengan petugas pajak,” kata Suryo.

Menurutnya, di tiga bulan ini DJP akan secara masif melakukan sosialisasi program tax amnesty jilid II ini kepada masyarakat.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan dua skema tax amnesty yang bakal dijalankan pada 2022, yaitu:

Skema I

Kebijakan pada skema satu, yaitu untuk subjek Wajib Pajak OP dan badan peserta tax amnesty 2016 hingga 2017. Basis datanya dari aset per 31 Desember 2015 yang belum diungkap pada saat mengikuti tax amnesty jilid I. Maka tarifnya, yakni:

  • Tarif 11 persen untuk deklarasi luar negeri (LN).
  • Tarif 8 persen untuk aset LN repatriasi dan aset dalam negeri (DN).
  • Tarif 6 persen untuk aset LN repatriasi dan aset DN yang diinvestasikan dalam surat berharga negara (SBN), hilirisasi, atau energi terbarukan (EBT).

“Ini semua rate-nya di atas yang sudah berlaku pada tax amnesty yang pertama, untuk bisa menunjukkan bahwa kita tetap memberikan kesempatan, namun untuk keadilan,” kata Sri Mulyani.

Ia memberi contoh, Tuan A pernah mengikuti program tax amnesty 2016, namun masih punya aset fisik berupa satu unit rumah di Indonesia. Rumah itu ternyata belum diungkapkan dalam tax amnesty sebelumnya. Tuan A membeli rumah sebelum 31 Desember 2015 dan nilainya mencapai Rp 2 miliar. Maka, Tuan A perlu mendeklarasikan aset itu dengan membayar pajak penghasilan (PPh) final tarif 8 persen dari Rp 2 miliar, yaitu Rp 160 juta.

Skema II

Skema kedua, yakni subjek Wajib Pajak OP dengan basis data, yaitu aset perolehan 2016 sampai 2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020. Maka tarifnya juga ada tiga, yakni:

  • Tarif 18 persen untuk deklarasi LN
  • Tarif 14 persen untuk aset LN repatriasi dan aset DN
  • 12 persen untuk aset LN repatriasi dan aset DN yang diinvestasikan dalam SBN hilirisasi, atau EBT

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version