in ,

DJP Estimasi Tambahan Penerimaan Hingga Rp8 Triliun dari Pajak Minimum Global

DJP Estimasi Tambahan Penerimaan
FOTO: Aprilia Hariani (PAJAK.COM)

DJP Estimasi Tambahan Penerimaan Hingga Rp8 Triliun dari Pajak Minimum Global

Pajak.com, Jakarta – Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Mekar Satria Utama estimasi tambahan potensi penerimaan Rp3 triliun hingga Rp8 triliun dari implementasi Peraturan Menteri (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global Berdasarkan Kesepakatan Internasional.

”Tambahan penerimaan pajak tersebut khususnya timbul karena Indonesia menerapkan mekanisme QDMTT (Qualified Domestic Minimum Top Up Tax). Sebab, QDMTT merupakan mekanisme pengenaan pajak tambahan oleh yurisdiksi terhadap entitas konstituen suatu perusahaan multinasional yang berada di Indonesia,” jelas Mekar dalam webinar MUC BIJAK bertajuk Kunci Persiapan Menghadapi Pajak Minimum Global sesuai PMK 136/2024, dikutip Pajak.com, (19/2).

Kendati demikian, menurutnya, Indonesia bisa saja tidak mendapatkan tambahan penerimaan pajak apabila negara/yurisdiksi lain juga menerapkan mekanisme QDMTT. Mekar menjelaskan, QDMTT merupakan mekanisme pengenaan pajak tambahan terhadap entitas konstituen di suatu negara/yurisdiksi.

“Jadi konteksnya adalah bagaimana caranya kita memajaki perusahaan-perusahaan multinasional tersebut, mengurangi persaingan di antara negara-negara untuk menurunkan tarif pajak, sambil memastikan mereka akan dikenakan pajak di mana pun mereka beroperasi di dunia,” ujar Mekar.

Selain QDMTT, terdapat pula mekanisme pengenaan pajak tambahan yang diatur dalam PMK Nomor 136 Tahun 2024, yaitu Income Inclusion Rules (IIR) dan Undertaxed Payment Rules (UTPR).

Baca Juga  GNV Consulting Petakan Strategi Penerapan Pajak Minimum Global untuk Perusahaan Multinasional

” IIR adalah pajak tambahan yang dikenakan kepada perusahaan induk yang berada di negara atau yurisdiksi tersebut. Sedangkan, UTPR ketentuan pengenaan pajak tambahan yang berlaku bila negara/yurisdiksi tempat entitas induk tidak menerapkan IIR,” jelas Mekar.

Ia menekankan, PMK Nomor 136 Tahun 2024 sebagai bentuk komitmen Indonesia untuk turut serta dalam upaya mencegah perang tarif negara-negara di dunia atau kompetisi penurunan tarif pajak atau race to the bottom. Sejatinya, Pilar II OECD/G-20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) juga lahir dari keresahan banyak negara karena maraknya penggerusan basis pajak oleh perusahaan multinasional.

”Prinsipnya, [PMK Nomor 136 Tahun 2024] memastikan bahwa setiap perusahaan multinasional yang memiliki peredaran bruto minimal sebesar 750 juta euro, dalam dua dari empat tahun sebelum tahun pengenaan, untuk dikenakan pajak tambahan (top-up tax). Hal itu berlaku, jika terdapat entitas konstituen dari perusahaan multinasional tersebut dikenakan tarif pajak efektif di bawah 15 persen oleh suatu negara atau yurisdiksi,” pungkas Mekar.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *