Menu
in ,

Dari 45 Juta WP, Hanya 19 Juta WP Pembayar Pajak

Dari 45 Juta WP

FOTO: P2Humas DJP

Pajak.com, Makassar – Dirjen Pajak Suryo Utomo mengungkap, dari 45 juta Wajib Pajak (WP) yang terdaftar, hanya 19 juta WP yang membayar pajak. Untuk itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengajak masyarakat untuk terus memperbaiki kepatuhan perpajakannya, salah satunya dengan memanfaatkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang akan berakhir 30 Juni 2022.

“Wajib Pajak yang efektif membayar pajak hanya 19 juta orang. Jadi yang harus menghidupi negara ini sekitar 19 juta, padahal penduduknya kita lebih dari 200 juta orang. Makanya, rasio pajak kita hanya 8 persen. Artinya, jumlah pendapatan negara dibagi PDB (Produk Domestik Bruto) hanya sekitar 8 persen, di saat negara lain sudah 14 sampai dengan 15 persen,” ujar Suryo dalam Sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Wilayah Indonesia Timur, Makassar, (19/4).

DJP akan mengejar ketertinggalan itu dengan terus meningkatkan kesadaran dan kepatuhan sukarela melalui pelbagai strategi pelayanan hingga perbaikan sistem. Suryo menyebutkan, salah satunya pemerintah akan mengimplementasikan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada 2023 mendatang. Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) itu akan memudahkan DJP mengetahui data penghasilan, kekayaan, atau transaksi WP. Secara simultan, DJP tengah merampungkan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax. 

“Kita semua harus pelan-pelan, tapi salah satu kewajiban dasar sebagai masyarakat (adalah) membayar pajak, ini tidak bisa dihindari. Secara administrasi nanti NIK sudah merupakan NPWP, yang membedakan dia teraktivasi atau tidak, dia punya penghasilan atau tidak, kalau tidak punya penghasilan kami tidak akan mengaktivasinya. Nanti, misalnya, ada transaksi gede-gede (bisa diketahui melalui NIK). Kalau penghasilannya lebih dari PTKP,maka hukumnya wajib bayar Pajak Penghasilan (PPh),” jelas Suryo.

Dalam kesempatan itu, DJP mengajak WP yang belum mengungkapkan harta kekayaan untuk segera memanfaatkan PPS atau populer disebut tax amnesty jilid II. Pasalnya, masa berlangsung program hanya sampai 30 Juni 2022.

“Setelah masa itu, Wajib Pajak yang belum melaporkan harta akan mendapat sanksi berupa denda maupun sanksi pidana, jika terbukti merugikan penerimaan negara. Tolong dilaporkan mumpung ada PPS,” kata Suryo.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, besaran sanksi administrasi karena tidak melaporkan harta, yaitu 200 persen-300 persen. Denda 200 persen diberikan ketika DJP menemukan harta WP yang tidak atau belum dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) usai mengikuti PPS. Atas tambahan harta itu, maka dikenai PPh yang harus dibayar WP badan sebesar 25 persen, WP orang pribadi 30 persen, dan WP tertentu 12,5 persen.

“Saya ingin mengingatkan, kami ada catatan data harta bapak/ibu segini yang belum dilaporkan. Kalau memang belum terlaporkan, tolong dilaporkan,” tegas Suryo.

Di lain sisi, ia menekankan, data harta yang dimiliki DJP menjadi bukti bahwa saat ini Indonesia telah menerapkan era keterbukaan akses informasi keuangan WP, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. DJP juga sudah menerima data keuangan dari perbankan atau otoritas pajak negara mitra melalui program Automatic Exchange of Information (AEOI). Menurut Suryo, hal itu menjadi salah satu pembeda PPS dengan program Pengampunan Pajak atau tax amnesty jilid I.

“Dengan transparansi keuangan tersebut diharapkan Wajib Pajak dapat melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar ke depan. Apabila terdapat harta tahun-tahun sebelumnya yang belum dilaporkan, Wajib Pajak dapat melunasinya dengan ikut PPS,” kata Suryo.

PPS memiliki dua kebijakan. Dalam kebijakan I, pengenaan tarif PPh Final 11 persen diperuntukkan bagi deklarasi harta di luar negeri yang tidak direpatriasi, 8 persen untuk deklarasi harta di luar negeri yang direpatriasi dan deklarasi harta dalam negeri. Selanjutnya, tarif 6 persen bagi deklarasi harta di luar negeri yang direpatriasi dan deklarasi harta dalam negeri serta diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) atau kegiatan usaha sektor pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) atau Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Sementara, dalam Kebijakan II, tarif PPh Final 18 persen dikenakan terhadap deklarasi harta di luar negeri yang tidak direpatriasi, 14 persen bagi deklarasi harta di luar negeri yang direpatriasi dan deklarasi harta dalam negeri, 12 persen bagi deklarasi harta di luar negeri yang direpatriasi dan deklarasi harta dalam negeri serta diinvestasikan dalam SBN atau kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau EBT.

Suryo menyebutkan, sampai dengan 19 April 2022 pukul 07.00 WIB, jumlah peserta PPS tercatat sebanyak 37.872 WP. Jumlah ini terdiri dari 8.641 peserta Kebijakan I dan 34.789 peserta Kebijakan II. Total harta yang diungkapkan itu mencapai Rp 65,94 triliun dengan perincian jenis harta yang berasal dari kas dan setara kas senilai Rp 53,46 triliun, serta nonkas Rp 12,47 triliun.

Dari pengungkapan harta itu, DJP telah mengumpulkan penerimaan negara dalam bentuk PPh senilai Rp 6,71 triliun, antara lain sebesar Rp 3,22 triliun berasal dari peserta Kebijakan I dan Rp 3,5 triliun dari peserta Kebijakan II.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version