Menu
in ,

Berikut Hasil Pertanian yang Kena PPN Final 1,1 Persen

Hasil Pertanian yang Kena PPN Final

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Barang Hasil Pertanian Tertentu (BHPT) bukan merupakan pajak baru. Pemajakan BHPT telah diterapkan sejak tahun 2013. Dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 64/PMK.03/2022, tarif PPN final BHPT dilakukan penyesuaian, yaitu sebesar 10 persen dari total tarif PPN 11 persen atau menjadi 1,1 persen dari harga jual mulai 1 April 2022. Lantas, apa saja BHPT yang dikenakan PPN? Beikut hasil pertanian yang kena PPN final 1,1 persen.

Objek BHPT sebagai tercantum dalam PMK Nomor 64 Tahun 2022, diantaranya cangkang dan tempurung kelapa sawit, biji kakao kering, biji kopi sangrai, kacang mete, sekam dan dedak padi, jagung, padi, jagung, umbi-umbian (ubi kayu atau singkong, ubi jalar, talas, garut, gembili, dan umbi lainnya). atsiri (daun, akar, bunga, buah), kelapa (buah, kulit buah/sabut, tempurung, batang)

Selanjutnya, BHPT yang kena PPN ada tanaman hias, tanaman potong (daun dan bunga), tanaman obat (buah, daun, biji, umbi, batang, kulit, bunga, dan lain-lain). Kemudian, hasil hutan, seperti kayu, kelapa sawit, karet (kayu), batang bambu , rotan, gaharu, agathis, shorea, kemiri (biji), tengkawang (biji). Saat pembuatan faktur pajak, Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menerbitkan faktur pajak saat penyerahan BHPT. Secara spesifik, pemrosesan dan jenis barang dari komoditi-komoditi itu dijelaskan dalam PMK Nomor 64 Tahun 2022.

“Pengenaan PPN atas barang hasil pertanian tertentu ini juga bukan pajak baru, sudah dikenakan PPN sejak tahun 2013 dengan tarif 10 persen,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (11/04).

Namun, berdasarkan PMK Nomor 64 Tahun 2022, tata cara pemungutan atas objek pajak BHPT disederhanakan. Di sisi lain, Neilmaldrin memastikan, beleid ini bertujuan untuk memberikan keadilan.

“Selain latar belakangnya adalah karena telah terbitnya UU HPP (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan), beleid ini berkomitmen tetap memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, serta menyederhanakan administrasi perpajakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban bagi pengusaha yang menyerahkan barang hasil pertanian tertentu,” jelasnya.

Adapun contoh perhitungan pajaknya, misalnya, seorang petani A menjual 1 ton padi sebesar Rp 600 ribu kepada pembeli. Maka, PPN final 1,1 persen dikali harga jual Rp 600 ribu, yaitu sebesar Rp 6.600.

Dirjen Pajak Suryo Utomo menambahkan, kebijakan tarif PPN 11 persen ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi perpajakan dan konsolidasi fiskal sebagai fondasi sistem perpajakan yang lebih adil, optimal, dan berkelanjutan.

Dengan demikian, DJP mengimbau kepada masyarakat untuk tidak perlu khawatir dengan penyesuaian itu karena tidak berimbas terhadap barang/jasa yang dibutuhkan masyarakat banyak, seperti kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan semua barang/jasa yang selama ini diberikan fasilitas pembebasan/tidak dipungut.

“Mohon untuk tidak dilihat dalam suatu konteks PPN semata, namun satu kesatuan keseluruhan yang dibuat untuk menjaga struktur perpajakan dan sustainabilitas APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” kata Suryo.

Ia juga mengingatkan, tujuan besar dari kebijakan yang dirumuskan pemerintah ini adalah untuk mewujudkan keadilan yang berbasis gotong royong. Hal itu tecermin dari pelebaran lapisan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi. Penghasilan Rp 50 juta sampai dengan Rp 60 juta yang sebelumnya dikenakan tarif 15 persen turun menjadi 5 persen, penghasilan di atas Rp 5 miliar yang sebelumnya dikenakan tarif 30 persen, naik menjadi 35 persen, pembebasan pajak untuk Wajib Pajak usaha mikro kecil menengah (UMKM )sampai dengan Rp 500 juta.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version