Menu
in ,

APBI Tunggu Naskah Akademis Pengenaan Pajak Karbon

Pajak.com, Jakarta – Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, pihaknya masih menunggu naskah akademis pengenaan pajak karbon yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). APBI berharap dapat dilibatkan dalam analisis kajian pengenaan pajak karbon, mengingat usulan itu akan berdampak siginifikan terhadap industri pertambangan maupun industri penghasil karbon lainnya.

“Untuk pajak karbon kami belum bisa menganalisis secara mendalam karena belum mendapatkan naskah akademis dari penetapan usulan pajak karbon yang tercantum di RUU KUP. Hal-hal yang penting untuk kami pelajari dari usulan pajak karbon, antara lain mengenai penentuan objek pajak,” kata Hendra kepada Pajak.com melalui telepon, pada Minggu (27/6).

Menurut Hendra, objek pajak karbon dapat dikenakan pada besaran emisi yang dihasilkan atau berdasarkan sumber emisi itu. Kriteria atau definisi objek pajak memiliki implikasi yang signifikan karena pada hakikatnya pajak karbon dapat dikenakan pada industri penghasil karbon lainnya, seperti industri pulp kertas, semen, pembangkit listrik, petrokimia.

“Sekali lagi, perlu pembahasan mendalam dengan segenap industri yang menghasilkan karbon agar pajak yang ditetapkan dapat memenuhi target utama, yaitu pengurangan emisi gas rumah kaca,” jelasnya.

APBI memerlukan penjelasan mengenai tujuan utama pengenaan pajak karbon. Jangan sampai pengenaan pajak karbon hanya berlandaskan oleh visi mendongkrak penerimaan. Sebab sejatinya, jika dilihat dari kacamata ekonomi, pengenaan pajak karbon justru akan berdampak pada harga jual energi dalam negeri.

“Perlu kejelasan mengenai usulan pajak karbon apakah tujuan utamanya semata-semata untuk mencapai target utama yaitu pengurangan emisi gas rumah kaca atau untuk memaksimalkan pendapatan negara. Hal ini tentu bisa terlihat dari naskah akademis dari RUU KUP yang hingga saat ini kami belum mendapatkan dan belum dimintai masukan oleh pemerintah sebagai pengambil inisiatif dari RUU tersebut,” tegas Hendra lagi.

Dengan demikian, Co-Founder dan Direktur Indonesia Mining Institute ini berharap agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) turut melibatkan APBI dalam analisis kajian penetapan pajak karbon.

“Berharap asosiasi dari industri penghasil karbon lainnya juga dilibatkan dalam tahapan awal pembahasan untuk mengkaji naskah akademis yang menjadi dasar dari penyusunan RUU KUP tersebut. Pada dasarnya yang penting dilakukan adalah upaya pengendalian emisi karbon yang nantinya akan termasuk adanya pemberian subsidi bagi pelaku usaha yang mampu mengurangi kandungan karbon untuk merangsang metode produksi yang ramah lingkungan. Sehingga perlu pembahasan yang komprehensif dengan melibatkan berbaik pihak,” tambah Hendra.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum memberikan pemaparan secara komprehensif mengenai usulan penetapan tarif pajak karbon. Hingga kini RUU KUP masih dalam tahap pembahasan bersama DPR.

Sebagai informasi, dalam RUU KUP, pajak karbon yang diusulkan, yaitu barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu.

“Pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu atau pada saat lain,” demikian bunyi Pasal 44 G ayat 4.

Adapun usulan tarif pajak terdapat pada Pasal 44 G ayat 5, bunyinya, “tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.”

Kendati Sri Mulyani belum menjabarkan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah mengungkapkan, bahwa ada tiga mekanisme yang disusun pemerintah, yaitu perdagangan karbon, result based payment, dan pungutan karbon.

Pertama, mekanisme perdagangan karbon merupakan proses transaksi karbon antara pelaku usaha atau kegiatan yang memiliki emisi melebihi batas emisi yang ditentukan.

“Jadi kalau ada proyek batas emisinya ditentukan dulu kalau lebih nanti bisa diperdagangkan itu namanya trade dan offset,” kata Siti dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR dalam Rapat Paripurna.

Kedua, mekanisme result based payment, yakni insentif berupa pembayaran yang diperoleh dari hasil capaian mengurangi emisi gas rumah kaca setelah melalui proses verifikasi dan tersertifikasi.

“Adapun mekanisme ini baru diterapkan untuk sektor kehutanan. Kemudian untuk pungutan karbon saat ini pemerintah sendiri masih mengkaji mekanisme yang tepat,” jelasnya.

Ketiga, pengenaan pungutan karbon sedang dipertimbangkan untuk diberlakukan terhadap komoditas yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.

“Ini meja kayu, ini carbon stock—apakah akan dihitung seperti itu? Apakah nanti dihitung dari emisi yang dihasilkannya? Saya sependapat memang hal-hal ini harus berdasarkan hasil interaksi dari segala stakeholders,” tambah Siti.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version