Menu
in ,

10 Penyebab Rendahnya Realisasi Belanja Daerah

Pajak.com, Jakarta – Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Agus Fatoni menyebutkan, realisasi belanja daerah hingga 31 Mei 2022 sebesar Rp 253,3 triliun atau baru mencapai 21,43 persen dari keseluruhan anggaran belanja daerah. Dana simpanan pemerintah daerah (pemda) di perbankan pun masih sangat tinggi, tercatat hingga 30 April 2022 mencapai sekitar Rp 191,58 triliun. Kemendagri menemukan 10 penyebab rendahnya realisasi belanja daerah itu.

“Mayoritas simpanan pemda untuk provinsi dan kabupaten/kota dalam bentuk giro sebesar Rp 136,81 triliun, kemudian deposito Rp 49,75 triliun dan tabungan Rp 5,02 triliun. Besaran dana tersimpan di bank, ditentukan oleh APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), tetapi juga ditentukan oleh besarnya pendapatan yang sudah masuk. Pemda dalam hal ini menghadapi berbagai kendala dalam merealisasikan belanjanya,” ungkap Agus dalam Rapat Koordinasi Percepatan Realisasi APBD secara virtual, (20/6).

Setidaknya, ada 10 kendala penyebab rendahnya realisasi belanja, yakni pertama, keraguan pemda dalam memulai kegiatan akibat perencanaan tidak matang. “Ada keragu-raguan, mau diteruskan atau dilakukan perubahan. Itu yang menyebabkan rendahnya realisasi belanja,” kata Fatoni.

Kedua, kurangnya pemahaman sumber daya manusia di pemda dalam penerapan regulasi di bidang pelaksanaan, penatausahaan, akuntansi, dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan daerah. Ketiga, keterlambatan pelaksanaan lelang, padahal ada aturan lelang/kontrak pengadaan dini. Keempat, penjadwalan kegiatan atau subkegiatan pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) kurang tepat, sehingga perlu mengubah anggaran kas pemda dan surat penyediaan dana (SPD).

Kelima, kegiatan fisik menunggu selesainya kegiatan perencanaan atau detail engineering design (DED). Hal ini kerap mengakibatkan beberapa kegiatan kontraktual belum dapat dilaksanakan termasuk kegiatan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Keenam, biasanya pemda dalam membelanjakan kas daerah memiliki pola pengajuan tagihan akhir tahun, setelah penyelesaian fisik 100 persen.

“Pengadaan barang/jasa belum mengajukan permohonan pembayaran atas penyelesaian fisik sesuai dengan termin yang diatur dalam perjanjian kontrak dengan pihak ketiga,” kata Fatoni.

Ketujuh, sisa dana penghematan atau pelaksanaan program kegiatan, termasuk sisa dana transfer, seperti Dana Bagi Hasil (DBH) dana reboisasi dan DBH cukai tembakau yang belum digunakan. Kedelapan, realisasi belanja khususnya pengadaan konstruksi cenderung lambat dan beberapa jenis belanja belum tercatat pada jurnal belanja.

Kesembilan, karena ada indikasi uang kas yang tersimpan di perbankan diorientasikan sebagai tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau dalam hal ini adalah bunga perbankan. Kesepuluh, belum disalurkannya bagi hasil pajak kepada kabupaten/kota, termasuk kelebihan target pajak daerah tahun sebelumnya.

Untuk mengatasi 10 penyebab itu, Kemendagri telah berupaya melakukan asistensi dengan pemda untuk membahas regulasi terkini. Kemendagri juga membuka help desk melalui konsultasi secara on-line.

“Datang ke Kemendagri juga boleh manakala diperlukan. Kami menerima konsultasi hanya di hari Rabu saja. Kegiatan-kegiatan yang masih belum dilakukan, masih ada kesulitan perlu kita carikan solusinya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,” tambah Agus.

Kemendagri mencatat, provinsi/kabupaten/kota yang dananya masih banyak tersimpan di perbankan, diantaranya:

  1. Provinsi DKI Jakarta Rp 7,85 triliun.
  2. Provinsi Aceh senilai Rp 6,53 triliun.
  3. Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 6,50 triliun.
  4. Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 5,96 triliun.
  5. Provinsi Papua Rp 4,68 triliun.
  6. Kabupaten Bojonegoro Rp 3,03 triliun.
  7. Kabupaten Bengkalis Rp 1,19 triliun.
  8. Kabupaten Kutai Timur Rp 1,128 triliun.
  9. Kabupaten Mimika Rp 1,12 triliun.
  10. Kabupaten Bekasi Rp 1,02 triliun.

Sementara itu, pemda dengan dana yang mengendap di bank paling rendah adalah Provinsi Kepulauan Riau Rp 351,36 miliar.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati geram dengan simpanan dana pemda di bank yang kembali naik. Menurutnya, hal itu tecermin dari PAD yang tumbuh cukup tinggi, penyaluran transfer ke daerah, dan dana desa yang dilakukan sangat cepat, namun belanjanya masih sangat rendah.

“Dengan data ini kita sudah bisa prediksi bahwa pemda memiliki dana di bank yang pasti meningkat signifikan dan betul saja. Kondisi ini pernah terjadi di tahun 2019. Dana pemda ngendon di bank juga tembus Rp 200 triliun di bulan Maret 2019. Di tahun ini kembali ke angka tersebut, yakni Rp 202,35 triliun. Padahal di Maret 2020 sudah turun menjadi Rp 177,52 triliun dan di Maret 2021 naik tipis menjadi Rp 182,33 triliun. Jadi, bukan karena enggak ada uangnya, transfer kami ke daerah itu rutin. Memang ada beberapa persyaratan, tapi tetap daerah sekarang itu masih punya Rp 200 triliun di bank. Jadi ini, kan, menggambarkan ada ironis. Ada resources, ada dananya, tapi enggak bisa dijalankan,” ungkap Sri Mulyani.

Dengan demikian, ia menekankan, dana itu seharusnya bisa disalurkan untuk membantu masyarakat. Belanja daerah dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang saat ini masih dalam masa pemulihan.

“Kita berharap pemda mampu eksekusi belanja di kuartal II-2022 dan kuartal III-2022 agar akselerasi pemulihan ekonomi bisa terjaga, karena sekarang ekonomi menghadapi tekanan baru dengan lonjakan harga komoditas yang sangat tinggi,” jelas Sri Mulyani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version