in ,

Manajemen Risiko dan Jurusita Pajak Daerah

Jurusita Pajak Daerah
FOTO: IST

Manajemen Risiko dan Jurusita Pajak Daerah

Didirikannya suatu negara memiliki tujuan dan kewajiban untuk menyejahterakan rakayatnya. Dalam mencapai tujuan tersebut, berbagai kegiatan dan kebijakan dilakukan oleh negara. Setiap kegiatan dan anggaran yang akan digunakan oleh pemerintah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN ini juga merupakan “kontrak” antara pemerintah dengan rakyat yang diwakilkan oleh DPR. Oleh sebab itu, APBN dibahas bersama dan ditetapkan oleh DPR setiap tahunnya untuk dijadikan sebagai Undang-Undang APBN.

Terdapat beberapa tugas dan fungsi pemerintahan yang didesentralisasikan kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Hal ini dilakukan karena setiap daerah lebih mengetahui kebutuhan dan kondisi daerahnya masing-masing. Desentralisasi ini juga tercermin dalam pos Transfer ke Daerah di dalam APBN. Dengan begitu, rincian kegiatannya tidak tertuang dalam APBN melainkan pada dokumen anggaran dan kegiatan Pemerintah Daerah.

Sama halnya APBN sebagai dokumen anggaran dan kegiatannya, begitu juga dengan daerah yang memiliki APBD. Melalui APBD, Pemerintah Daerah memiliki otonomi untuk meningkatkan kesejahteraan daerahnya. Sebagaimana APBN, postur APBD juga terdapat pendapatan dan belanja. Pada pos pendapatan, terdapat Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Transfer yang diperoleh dari Pemerintah Pusat.

Dalam mendukung kemandirian fiskal, seharusnya Pendapatan Daerah lebih diutamakn oleh setiap daerah daripada mengharapkan dana transfer dari pusat. Hal ini sesuai dengan teori flypaper effect, apabila pemerintah daerah terlalu menggantungkan diri pada dana transfer dari pusat maka belanja daerah tidak mencerminkan kebutuhan dan prioritas daerah. Oleh sebab itu, diperlukan optimalisasi pendapatan asli daerah.

Sumber: https://proconsult.id/juru-sita-pajak-gaji-syarat-tugas-dan-tanggung-jawab/

Salah satu jenis pendapatan asli daerah adalah pajak daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemungutan pajak daerah belum optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti, kesadaran Wajib Pajak Daerah, penegakan hukum pajak di daerah, dan administrasi pemungutan pajak daerah yang kinerjanya belum optimal. Salah satu aparat penegak hukum pajak daerah adalah Jurusita Pajak Daerah.

Baca Juga  Penerimaan Pajak 2025 Diperkirakan Lesu, Ekonom UGM Ungkap Faktor Utamanya!

Sesuai dengan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan. Yang mana kegiatan tersebut adalah bentuk dari penegakan hukum pajak. Undang-Undang PPSP mengatur untuk pajak pusat.

Akan tetapi, melihat substansi pajak daerah yang sama dengan pajak pusat yaitu sebagai sumber pendanaan pemerintah maka sudah seharusnya otoritas pajak daerah juga memiliki Jurusita Pajak untuk memungut pajak daerah.

Oleh sebab itu diperlukan suatu kebijakan dan best practice untuk mengoptimalisasi pemungutan pajak daerah oleh Jurusita Pajak Daerah (JSPD). Hal yang bisa dilakukan adalah diberlakukannya regulasi yang jelas tentang eksistensi Jurusita Pajak Daerah, pendekatan manajemen risiko pada sistem kerja Jurusita Pajak Daerah, dan penilaian kinerja dengan kontrol hasil dan tindakan.

Melihat beberapa contoh nyata yang ada di Pemda, banyak otoritas pajak daerah (Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah atau dengan nama lain) memiliki pegawai sebagai Jurusita Pajak Daerah. Oleh sebab itu, hal pertama adalah membuat suatu regulasi bagi setiap otoritas Pajak Daerah bahwa harus memiliki Jurusita Pajak Daerah. Hal ini ditujukan agar setiap daerah lebih fokus dalam memungut pajak daerahnya.

Kebanyakan perangkat daerah enggan untuk melakukan pemungutan pajak karena tidak adanya hukum yang melindungi apparat pemungut tersebut. Hal ini berakibat pajak daerah yang terkumpul kebanyakan berdasarkan setoran rutin saja. Di sisi lain, masih banyak potensi pajak terutang yang seharusnya masih bisa ditagih, bahkan termasuk dengan sanksi-sanksinya. Bila suatu daerah sudah memiliki perangkat aturan hukum yang jelas terkait dengan posisi dan keberadaan Jurusita Pajak Daerah ini, maka pemungutan pajak dapat dilakukan dengan lebih leluasa.

Hal kedua yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan prinsip manajemen risiko pada sistem kerja Jurusita Pajak Daerah. Manajemen risiko berarti dilakukan pengelolaan risiko-risiko yang teridentifikasi dalam pelaksanaan tugas JSPD. Risiko-risiko yang mungkin timbul seperti Wajib Pajak yang tidak kooperatif (bandel), risiko ketertagihan Wajib Pajak, risiko likuidasi dari Wajib Pajak, miskomunikasi dengan instansi pemerintah lainnya, risiko sengketa atau hukum, bahkan risiko-risiko yang menyangkut nyawa. Dengan melakukan pengelolaan risiko maka JSPD diharapkan dapat lebih efektif melaksanakan tugasnya.

Baca Juga  TaxPrime Dukung Pemerintah Tingkatkan Investasi melalui Optimalisasi Fasilitas Fiskal

Manajemen risiko akan memberikan efektivitas karena melalui rangkaian prosesnya akan dihasilkan prioritas penagihan risiko. Menurut ISO 31000:2019, terdapat delapan tahapan manajemen risiko yaitu Penetapan Konteks, Identifikasi Risiko, Analisis Risiko, Evaluasi Risiko, Penangan Risiko, Komunikasi dan Konsultasi, Monitoring dan Revieu, dan Pencatatan dan Pelaporan. Semua proses tersebut penting dan saling berkesinambungan. Akan tetapi, yang perlu menjadi perhatian khusus adalah tahapan Penilaian Risio (Identifikasi, Analisis, dan Evaluasi) dan Penanganan Risiko.

Pentinganya dua tahap tersebut karena pada tahap itulah dihasilkan besaran risiko. Besaran risiko diperoleh dari kombinasi tingkat kemungkinan terjadi dan tingkat dampak yang diberikan apabila risiko tersebut terjadi. Dari besaran risiko tersebut akan dihasilkan prioritas penanganan risiko (ranking tiap risiko). Apakah risiko tersebut ditangani atau tidak, atau apabila ditangani opsi apa yang akan dilakukan. Contohnya seperti menurunkan tingkat kemungkinan terjadi, mengurangi dampak risiko, atau membagi risiko dengan pihak ketiga.

Untuk mempermudah kita dalam membayangkannya, berikut contohnya. Suatu BPRD Kabupaten A telah menerapkan Manajemen Risiko untuk kinerja JSPD-nya. Melalui proses identifikasi dan analisis risiko ditemukan informasi berikut. WP X memiliki risiko ketertagihan dengan besaran 20, WP Y dengan besaran 15, dan WP Z dengan besaran 8. Di sisi lain, terdapat pula Risiko Keselamatan JSPD dimana semakin besar risikonya maka semakin kecil keselamatan JSPD dalam melaksanakan tugas. WP X memperoleh besaran risiko 10, WP Y sebesar 25, dan WP Z sebesar 8.

Selanjutnya, dilakukan evaluasi risiko untuk menentukan urutan prioritas risiko. Diketahui, sebagai asumsi, proporsi riskiko ketertagihan dan risiko keamanan adalah 40:60. Maka didapat besaran risiko setiap WP adalah 14 untuk WP X, 21 untuk WP Y, dan 8 untuk WP Z. Dari besaran risiko tersebut maka urutan prioritasnya adalah WP Y, WP X, dan WP Z.

Setelah menentukan urutan prioritas tersebut, BPRD A memutuskan langkah-langkah penanganan risiko yang akan dilakukan dengan memberikan fokus sesuai urutan yang ada. Contohnya, WP Y dilakukan penagihan pajak dengan pemberian surat paksa dan dapat meminta bantuan dari apparat hukum dan pemerintah setempat lainnya. Begitu juga selanjutnya untuk WP X dan dilanjutkan dengan WP Z.

Baca Juga  Kondisi Ekonomi RI Terkini: Pendapatan Negara Jebol, Pajak Anjlok Hingga APBN Tekor Rp31,2 Triliun

Berdasarkan contoh sederhana tersebut, WP yang terpetakan dengan benar akan mempermudah JSPD dan mengoptimalkan penerimaan. Akan tetapi, proses Manajemen Risiko ini memiliki tantangan seperti sumber daya manusia. Diperlukan setidaknya JSPD yang memahami manajemen risiko atau pelaksana pada Pemda atau BPRD yang memiliki keahlian dalam manajemen risiko. Oleh sebab itu, diperlukan program pengembangan sumber daya manusia dari Pemda.

Program pengembangan sumber daya manusia sangat diperlukan. Mulai dari kemampuan teknis penagihan sampai dengan kompetensi dalam manajemen risiko. Hal ini ditujukan dalam menghadapi modus-modus WP yang semakin lama semakin ahli dalam melakukan pengelakkan pajak yang kemudia akan mengurangi taxing power dari Pemda.

Seiring dengan penerapan manajemen risiko yang mengoptimalkan penagihan pajak daerah dan meningkatkanya kompetensi apparat pemungut pajak daerah, maka dapat diusulkan diberikan insentif kinerja yang berbasis hasil dan tindakan (result and action). Atas kinerja JSPD yang memenuhi target dan bertindak sesuai dengan ketentuan maka dapat diberikan insentif berupa tambahan penghasilan. Demikian pula apabila JSPD tersebut tidak memenuhi target yang ditentukan atau melakukan tindakan/berperilaku tidak sesuai ketentuan dapat diberikan insentif negatif berupa tindakan yang tegas.

Atas saran dan opini yang penulis sampaikan di atas, diharapkan Pemda dapat memiliki kemandirian fiskal. Apabila Pemda memiliki kemandirian fiskal, maka Pemda dapat lebih leluasa untuk melaksanakan program-program di daerah. Hal ini dikarenakan, Pemda yang lebih mengetahui secara lebih komprehensif permasalahan yang dihadapi oleh daerahnya sendiri. Dengan begitu, rakyat tiap daerah dapat lebih sejahtera.

 

Pandangan dan opini dalam artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan PAJAK.COM.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *