Mengentas Moral Hazard dalam Pemungutan Pajak Daerah
Manusia dikenal sebagai makhluk oportunis. Ketika disuguhkan berbagai pilihan, seseorang cenderung memilih opsi yang paling menguntungkan bagi dirinya sendiri. Ribes (2022) menjelaskan bahwa kecenderungan ini muncul dari adaptasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan kelangsungan hidup. Maka, bersikap oportunis bukanlah sebuah dosa, melainkan naluri alamiah sebagai manusia.
Bayangkan Anda sedang berbelanja di pasar, kemudian seorang pedagang sembako menawarkan, “Dibeli, dibeli! Hari ini saja! Beli sekilo 20 ribu, borong dua kilo saya kasih 30 ribu aja!”. Sebenarnya Anda hanya butuh sekilo bawang merah, namun tawaran dua kilo terdengar begitu menggiurkan hingga Anda memutuskan membeli sejumlah itu. Di peristiwa ini, naluri oportunis Anda bekerja maksimal: pilihan mana yang paling menguntungkan saya? Saya memang hanya butuh sekilo saat ini, tapi toh sekilo lebihnya masih bisa saya simpan untuk kemudian hari. Setelahnya, Anda mengetahui ternyata pedagang itu selalu memberikan diskon untuk pembelian yang lebih banyak. Maka tentunya, Anda akan berpikir dua kali untuk membeli dalam jumlah sedikit di kemudian hari.
Para ekonom merangkum peristiwa tersebut dalam teori maksimisasi utilitas (Utility Maximization). Sementara publik masa kini memopulerkannya dengan istilah kaum “mendang-mending”. Hal ini terjadi hampir di setiap aspek kehidupan, apalagi dalam urusan perpajakan. Meski dari kacamata pengambil kebijakan pajak merupakan tulang punggung pembangunan negara, indra masyarakat mengecap pajak sebagai beban atau pengorbanan. Maka, ada kecenderungan yang besar bagi wajib pajak untuk meminimalkan jumlah yang harus mereka bayarkan, bahkan sebisa mungkin menunda saat pembayaran kewajibannya.
Pengampunan Pajak dan Potensi Moral Hazard
Program pemutihan merupakan program pembebasan dan pengurangan sebagian pokok pajak serta denda keterlambatan pembayaran pajak yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada wajib pajak tertentu yang memenuhi kriteria. Pemberlakuan kebijakan ini dapat berbeda-beda di berbagai daerah, baik dari segi jenis pajak maupun tarifnya. Namun tujuannya sama: memberikan relaksasi guna mengoptimalkan pemungutan pajak daerah. Wajib pajak, terutama yang telah menunggak pembayaran pajak daerah (misalnya pajak kendaraan bermotor), tentu akan memanfaatkan kesempatan ini dengan maksimal. Pasalnya, mereka dapat menebus tunggakan tersebut dengan nominal yang lebih rendah dibandingkan akumulasi pokok dan denda sampai saat itu.
Berbagai penelitian menunjukkan efektivitas program pemutihan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam jangka pendek, yakni dalam satu tahun pajak. Namun, efektivitas program ini dalam jangka panjang perlu dipertanyakan. Shevlin et al. (2017) menyimpulkan bahwa pengampunan pajak secara berulang dapat meningkatkan agresivitas pajak. Dalam penelitian tersebut, Shevlin mengamati respons wajib pajak perusahaan di negara-negara bagian Amerika Serikat terhadap kebijakan pengampunan pajak pada awal pemberlakuan dan pada kali berikutnya. Kebijakan tersebut mampu mendorong penerimaan secara signifikan dalam jangka pendek. Akan tetapi, ketika dilakukan berulang kali, wajib pajak mungkin menganggap pengampunan pajak sebagai sinyal bahwa otoritas pajak memiliki kemampuan penegakan hukum yang lemah. Naluri oportunis pun menentukan langkah wajib pajak. Mereka akan cenderung “menumpuk” kewajiban pajak dan menunggu kesempatan pengampunan berikutnya datang. Di sinilah moral hazard terjadi.
Moral hazard merupakan istilah yang digunakan ketika seseorang mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri dengan mengabaikan konsekuensinya. Dalam konteks pengampunan pajak, moral hazard terjadi ketika wajib pajak mengambil risiko ketidakpatuhan dengan mengeksploitasi program pengampunan, seperti pemutihan, karena mereka tidak harus menanggung konsekuensi penuh dari tindakan tersebut. Singkatnya, moral hazard adalah anggapan bahwa “untuk apa membayar pajak tepat waktu? Mending nanti, sewaktu ada pemutihan”. Seiring berjalannya waktu, moral hazard akan meningkatkan ketidakpatuhan dan menghambat optimalisasi penerimaan pajak daerah. Hal ini disimpulkan pula dalam penelitian Shevlin. Kesimpulan yang sama juga diungkapkan oleh Torgler et al. (2003) dan Prayitno (2017).
Strategi Mengentas Moral Hazard
Nasi sudah menjadi bubur—ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi pemungutan pajak daerah saat ini. Pemutihan yang berulang mulai menunjukkan dampaknya. Dalam wawancara dengan salah satu petugas pelayanan pajak daerah di SAMSAT Provinsi Bangka Belitung, beliau mengungkapkan tidak jarang mendengar wajib pajak yang memilih menunggu pemutihan daripada memenuhi kewajiban mereka secara tepat waktu. Maka, pemerintah daerah perlu mengeluarkan kebijakan counter effect sebelum mendulang dampak negatif yang lebih signifikan. Kebijakan ini dapat berupa Insentif Kepatuhan.
Pada dasarnya, insentif kepatuhan merupakan kebalikan dari program pemutihan. Ketika pemutihan memberikan relaksasi bagi wajib pajak yang tidak patuh, insentif kepatuhan justru bertujuan untuk memberikan manfaat atas kepatuhan wajib pajak. Pemberian insentif merupakan bentuk penghargaan atau reward kepada wajib pajak yang patuh atas kontribusi mereka, alih-alih sebuah punishment atas pelanggaran atau ketidakpatuhan.
Insentif kepatuhan mampu mendorong naluri oportunis wajib pajak untuk mematuhi ketentuan dan memenuhi kewajiban pajak mereka dengan alasan yang sederhana: “lebih untung yang patuh”. Insentif ini dapat diberikan dalam berbagai bentuk, baik yang bersifat administratif, finansial, maupun nonfinansial.
- Insentif administratif: “yang patuh lebih mudah, lebih nyaman”.
Insentif kepatuhan yang bersifat administratif dapat diberikan dalam bentuk kemudahan administrasi. Misalnya, tiket pelayanan instan di MPP (Mal Pelayanan Publik) atau tempat pelayanan publik lainnya (SAMSAT, Dukcapil, dll) sehingga wajib pajak dapat menerima layanan tanpa antrean panjang.
- Insentif finansial: “yang patuh lebih hemat”.
Insentif finansial dapat diberikan dalam beberapa bentuk. Pertama, dalam bentuk self-funding reward. Pemerintah daerah dapat merancang sebuah self-funding pool untuk mengumpulkan sanksi administratif dari wajib pajak yang tidak patuh. Kumpulan dana ini kemudian didistribusikan kepada wajib pajak yang patuh berupa pemberian diskon atau kredit untuk pembayaran pajak selanjutnya. Mekanisme ini telah diuji dalam penelitian Fatas et al. (2021). Fatas melakukan eksperimen pemberian insentif kepada wajib pajak dalam dua bentuk, penghargaan simbolis dan insentif material. Hasilnya, peningkatan kepatuhan hanya muncul pada pemberian insentif material. Menurutnya, otoritas pajak tidak mengalami kerugian dari mekanisme ini karena pemberian insentif sepenuhnya didanai dari sanksi ketidakpatuhan. Selanjutnya, Gips et al. (2012) juga mengungkapkan pemberian insentif material, seperti kredit pajak atau diskon pajak, dapat meningkatkan motivasi kepatuhan secara signifikan. Gips merekomendasikan adanya sistem poin kepatuhan untuk memberikan kesan: semakin patuh, semakin besar penghargaan yang diterima.
Kedua, pengenaan tarif pajak yang lebih rendah. Pemerintah daerah dapat menarik perhatian wajib pajak dengan menetapkan penurunan tarif bagi mereka yang patuh. Penelitian Gips merekomendasikan metode ini sebagai alternatif insentif dalam jangka panjang. Insentif ini dapat mendorong kepatuhan yang konsisten secara efektif. Namun, terdapat potensi penerimaan yang hilang dalam jangka pendek dari pemberlakuan insentif ini.
Ketiga, pemberian insentif material secara tidak langsung. Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan BUMD untuk memberikan insentif kepada wajib pajak yang patuh. Misalnya, diskon pembayaran tagihan air di PDAM.
- Insentif nonfinansial: “yang patuh lebih istimewa”.
Insentif nonfinansial dapat diberikan dalam bentuk pemberian fasilitas. Misalnya, bagi pemilik kendaraan yang patuh menunaikan pembayaran PKB, pemerintah daerah dapat memberikan tiket bebas retribusi parkir. Selain itu, pemerintah daerah dapat menjalin kerja sama dengan BUMN/BUMD penyedia fasilitas layanan publik untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak yang patuh, seperti ruang istirahat atau lounge khusus di bandara, bonus paket internet, dll.
Dalam bentuk yang lebih kompleks, insentif kepatuhan dapat diramu dalam kebijakan cooperative compliance. Kebijakan ini diperkenalkan oleh OECD (2013) dengan tujuan menciptakan kerja sama antara wajib pajak dengan otoritas pajak. Kebijakan ini menyasar wajib pajak besar, seperti perusahaan, yang memiliki histori kepatuhan yang baik. Pemerintah daerah dapat memberlakukan kebijakan ini terhadap BUMD ataupun wajib pajak besar yang patuh dengan memberikan insentif kepatuhan kepada mereka. Sebaliknya, pemerintah mendapatkan keuntungan dari kerja sama tersebut berupa fasilitas untuk pemberian insentif kepatuhan kepada wajib pajak orang pribadi yang patuh.
Biasakan yang Benar, Jangan Benarkan yang Biasa
Sebaik apa pun sebuah sistem, selalu ada celah untuk mengeksploitasi kesempatan. Karenanya, insentif saja tidak cukup. Penegakan hukum yang tegas dan sosialisasi yang menyeluruh juga berperan penting dalam membangun budaya kepatuhan yang baik. Pemerintah daerah perlu bersikap tegas dalam mendukung peningkatan kepatuhan, termasuk mempertimbangkan kembali kebijakan pemutihan di masa depan. Sosialisasi juga penting untuk membiasakan yang benar—menjadi patuh—dan menjauhi membenarkan yang biasa. Dengan demikian, baik petugas pajak maupun wajib pajak, dapat bergotong royong menuju pembangunan daerah yang lebih baik dari kontribusi pajak.
Referensi:
Fatas, E., Nosenzo, D., Sefton, M., & Zizzo, D. J. (2021). A self-funding reward mechanism for tax compliance. Journal of Economic Psychology, 86. https://doi.org/10.1016/j.joep.2021.102421
Gips, J., Liang, P., Valade, A. D., & Leuthardt, E. (2012). System and method for compliance reward. https://patents.google.com/patent/US20120245951A1/en
OECD (2013), Co-operative Compliance: A Framework: From Enhanced Relationship to Co-operative Compliance, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/9789264200852-en
Prayitno, H. J. M. H. (2017). Tax Amnesty Dan Moral Hazard : Studi Reformulasi Undang-Undang Tax Amnesty 2016 Untuk Mencegah Moral Hazard Wajib Pajak. http://eprints.ums.ac.id/55220/
Ribes, E. (2022). Human behaviour as operant behaviour: An empirical or conceptual issue? dalam Behaviour Analysis and Contemporary Psychology.
Shevlin, T., Thornock, J., & Williams, B. (2017). An examination of firms’ responses to tax forgiveness. Review of Accounting Studies, 22(2). https://doi.org/10.1007/s11142-017-9390-6
Torgler, B., Schaltegger, C. A., & Schaffner, M. (2003). Is Forgiveness Divine? A Cross-Culture Comparison of Tax Amnesties. Swiss Journal of Economics and Statistics (SJES), 139(III).
Pandangan dan opini dalam artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan PAJAK.COM.
Comments