Kerapnya Sunset Policy Pajak Daerah: Bagai Pisau Bermata Dua
Kebijakan Sunset Policy atau penghapusan sanksi administrasi pajak daerah merupakan instrumen strategis yang cukup sering diterapkan pemerintah daerah di Indonesia untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak daerah dan penerimaan pajak daerah. Kebijakan ini memberikan kesempatan kepada wajib pajak daerah untuk melunasi utang pajak tanpa dikenai denda atau sanksi administrasi, biasanya diterapkan dalam periode tertentu. Tujuan utamanya adalah memperluas basis pajak, meningkatkan penerimaan daerah, dan memperbaiki sistem administrasi perpajakan. Contoh terbaru pemerintah daerah yang menerapkan kebijakan ini yaitu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Yogyakarta yang menerapkan penghapusan sanksi administrasi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) mulai Desember 2024.
Sunset Policy?
Sunset Policy dalam konteks perpajakan didefinisikan sebagai kebijakan temporer yang memberikan relaksasi sanksi administrasi untuk mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak. Menurut Mardiasmo (2019), Sunset Policy adalah strategi pengampunan terbatas yang bertujuan merehabilitasi wajib pajak yang memiliki tunggakan melalui penghapusan sanksi, dengan syarat melunasi pokok pajak. Sementara Rahayu dan Dawanti (2020) menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan bentuk positive reinforcement untuk membangun kesadaran pajak tanpa tekanan hukum.
Konsep ini juga sejalan dengan teori tax compliance yang menekankan pentingnya insentif psikologis dan finansial dalam meningkatkan partisipasi wajib pajak (Allingham & Sandmo, 1972). Dalam konteks Indonesia, Sunset Policy diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Daerah (Perda) sebagai bagian dari reformasi administrasi pajak daerah.
Penerapan di Beberapa Daerah
Sejak 2020, beberapa daerah di Indonesia mulai menerapkan Sunset Policy untuk pajak daerah, seperti Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta retribusi. Contohnya, DKI Jakarta menghapus denda PKB selama periode tertentu bagi wajib pajak daerah yang melunasi utang sebelum akhir tahun. Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur juga mengadopsi kebijakan serupa, disertai sosialisasi masif melalui media digital. Kebijakan ini umumnya diambil oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan realisasi penerimaan pajak daerah untuk dapat memenuhi target. Namun, implementasinya masih menghadapi tantangan, seperti ketidaksinkronan data antara pemerintah pusat dan daerah serta rendahnya kesadaran masyarakat di wilayah pedesaan.
Sunset Policy dapat efektif dalam jangka pendek tetapi belum menjamin kepatuhan berkelanjutan. Terdapat potensi wajib pajak daerah menjadi tidak patuh di masa mendatang karena mengharapkan kebijakan yang sama berlaku kembali. Studi komparatif oleh Sukmana dan Hadi (2022) membandingkan kebijakan serupa di Malaysia (Special Voluntary Disclosure Program) menunjukkan bahwa keberhasilan Sunset Policy bergantung pada tiga faktor: (1) sosialisasi yang masif, (2) kemudahan akses pembayaran, dan (3) penegakan hukum pascakebijakan. Di Indonesia, faktor ketiga masih lemah karena kurangnya sanksi tegas setelah periode Sunset Policy berakhir.
Dampak Positif
Implementasi Sunset Policy pada pajak daerah mampu memberikan beberapa pengaruh positif.
1. Peningkatan Kepatuhan Pajak Secara Signifikan
Kebijakan ini berhasil meningkatkan kepatuhan wajib pajak daerah, terutama di wilayah perkotaan. Contohnya, di Kota Malang, program Sunset Policy pada tahun 2016 dan 2017 mampu menghimpun sebanyak 6.834 wajib pajak daerah untuk patuh. Wajib pajak daerah yang sebelumnya enggan melapor karena takut dengan denda administrasi menjadi bersedia untuk bayar dan lapor. Studi Pratama & Wijaya (2021) menunjukkan 65% wajib pajak daerah di Jakarta mengaku termotivasi oleh penghapusan sanksi.
2. Perbaikan Basis Data dan Transparansi Administrasi
Proses verifikasi data selama Sunset Policy membantu pemerintah mengidentifikasi wajib pajak daerah fiktif. Tidak hanya meningkatkan penerimaan pajak daerah secara nyata, Sunset Policy juga terbukti memperbesar potensi pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke depannya. Hal ini disebabkan kebijakan tersebut mendorong pemilik aset untuk memanfaatkan periode keringanan pajak yang diberikan. Akibatnya, aset-aset yang sebelumnya seolah tidak memiliki pemilik kini dapat diidentifikasi kepemilikannya.
3. Dukungan Pemulihan Ekonomi Daerah
Penerimaan pajak daerah yang meningkat dialokasikan untuk program padat karya dan subsidi UMKM. Kebijakan ini juga membantu menutup defisit anggaran daerah pascapandemi. Tambahan penerimaan pajak daerah dari program ini dapat digunakan untuk membantu belanja pemerintah daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dampaknya bisa langsung dimanfaatkan masyarakat.
Dampak Negatif
Selain pengaruh positif, implementasi Sunset Policy juga tidak terlepas dari dampak negatif yang muncul seiring penerapannya.
1. Risiko Moral Hazard yang Berkelanjutan
Sebagian wajib pajak daerah menunda pembayaran dengan spekulasi akan ada kebijakan serupa di masa depan. Survei oleh LPEM UI (2022) mengungkap 22% responden di Jawa Barat mengaku sengaja menunggak untuk menunggu Sunset Policy berikutnya. Perilaku ini berpotensi mengurangi penerimaan pajak jangka panjang jika tidak diimbangi penegakan hukum dan tindak lanjut atas hasil kebijakan.
2. Ketimpangan Persepsi Keadilan
Wajib pajak daerah yang disiplin merasa “dihukum” karena tidak mendapat insentif, sementara penunggak dihadiahi dengan adanya penghapusan denda administrasi. Fenomena ini disebut equity paradox dalam teori perpajakan (Alm & Torgler, 2011). Terdapat potensi munculnya keluhan dari wajib pajak daerah yang patuh karena ketidakadilan program ini.
3. Potensi Penyalahgunaan oleh Oknum
Penerapan Sunset Policy juga mampu membuka kemungkinan dilakukannya fraud atau korupsi oleh oknum petugas pajak daerah. Sebagai contoh, terdapat kasus oknum petugas pajak daerah memungut biaya tambahan untuk memproses penghapusan denda secara tidak resmi.
Rekomendasi Kebijakan
1. Menerapkan Kebijakan Pendukung Pasca-Sunset Policy
Memberikan insentif tambahan bagi wajib pajak daerah yang tetap patuh setelah masa kebijakan, seperti diskon 2% untuk pembayaran tepat waktu (contoh: skema loyalty discount di Thailand). Pemerintah daerah juga dapat menjalankan operasi intensif penegakan hukum setelah periode Sunset Policy berakhir, dengan sanksi denda lebih besar bagi penunggak baru.
2. Menguatkan Prinsip Keadilan melalui Desain Kebijakan Inklusif
Pemerintah daerah dapat memberikan kompensasi simbolis kepada wajib pajak daerah yang patuh, seperti sertifikat apresiasi atau prioritas pelayanan. Selain itu, penerapan tiered penalty system juga dapat diterapkan yaitu semakin lama menunggak, semakin besar denda setelah periode Sunset Policy.
3. Edukasi Kesadaran Pajak melalui Pendekatan Budaya
Pemerintah daerah dapat memasukkan materi kepatuhan pajak dalam kurikulum sekolah menengah seperti program Pajak Bertutur yang dijalankan Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Kolaborasi dengan influencer dan komunitas lokal untuk kampanye kreatif di media sosial juga dapat dijalankan, seperti melalui TikTok atau Instagram.
4. Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Penggunaan Dana Pajak
Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, pemerintah daerah dapat melaporkan secara publik alokasi penerimaan pajak daerah melalui platform online atau laman resmi masing-masing pemerintah daerah. Selain itu, dapat dibentuk juga forum pengawasan pajak daerah yang melibatkan akademisi, LSM, dan perwakilan masyarakat seperti Komite Pengawasan Perpajakan (Komwasjak), Kementerian Keuangan dan Tax Ombudsman di Belanda. Kesadaran dan kepatuhan untuk membayar pajak daerah diharapkan ikut naik seiring dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah.
Penutup
Sunset Policy ibarat pisau bermata dua: di satu sisi mampu meningkatkan kepatuhan jangka pendek, di sisi lain berisiko melemahkan budaya taat pajak jika tidak diimbangi strategi pascakebijakan. Untuk meminimalkan dampak negatif, pemerintah daerah perlu merancang kebijakan yang holistik, mulai dari penerapan kebijakan penghapusan sanksi administrasi yang tidak terlalu sering, penguatan sistem digital, hingga reformasi struktural dalam penegakan hukum. Dengan demikian, Sunset Policy tidak hanya menjadi alat tambal-sulam atau “obat cepat” atas target penerimaan yang belum tercapai, tetapi juga mampu menjadi fondasi menuju sistem perpajakan yang adil dan berkelanjutan.
Referensi
Allingham, Michael G, & Agnar Sandmo. (1972). Income Tax Evasion: A. Theoretical Analysis. Journal of Public Economics.
Alm, J., & Torgler, B. (2011). Do Ethics Matter? Tax Compliance and Morality. Journal of Business Ethics.
LPEM UI. (2022). Evaluasi Perilaku Wajib Pajak Pasca-Sunset Policy di Jawa Barat. Laporan Penelitian.
Mardiasmo. (2019). Tax Amnesty dan Sunset Policy dalam Reformasi Perpajakan Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Publik.
Pratama, A., & Wijaya, T. (2021). Behavioral Insights in Tax Compliance: Evidence from Jakarta. Jurnal Ekonomi Indonesia.
Rahayu, S. K., & Dawanti, A. S. (2020). Evaluasi Dampak Sunset Policy pada Kepatuhan Pajak Daerah. Jurnal Kebijakan Publik.
Sukmana, A., & Hadi, S. (2022). Kebijakan Sunset Policy dalam Perspektif Komparatif: Pelajaran dari Malaysia. Jurnal Perpajakan Internasional.
Pandangan dan opini dalam artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan PAJAK.COM.
Comments