in ,

Big Data Analytics Sistem Perpajakan Indonesia

Big Data Analytics Sistem Perpajakan Indonesia
FOTO: IST

Big Data Analytics Sistem Perpajakan Indonesia

Big data analytics sistem perpajakan Indonesia. Perkembangan teknologi yang semakin masif mendorong berbagai kegiatan masyarakat dilakukan melalui sistem. Produksi data dilakukan dalam skala yang semakin besar dan beragam, serta terus menerus dari waktu ke waktu.

Sistem database management system (DBMS) yang sudah ada tidak cukup mampu menampung data yang semakin berlimpah untuk kepentingan yang besar. Untuk itu, dibuatlah sebuah teknologi bernama Big Data, yakni sebuah pengembangan dari sistem database pada umumnya. Big Data sendiri terdiri dari 3 unsur, yakni volume (ukuran), velocity (kecepatan), dan variety (keragaman).

Yang terpenting dari penggunaan Big Data bukan hanya pada banyaknya data yang dapat disimpan serta diolah, tetapi bagaimana kita dapat memperoleh manfaat atau nilai tambah dari data tersebut. Untuk mengambil nilai tambah dari kumpulan data dalam Big Data, diperlukan Big Data Analysis (BDA).

BDA merupakan sebuah upaya meningkatkan nilai tambah data dengan mengolah, mengekstraksi, dan menganalisis data menjadi sebuah informasi. Informasi ini kemudian dapat diolah kembali informasi yang lebih mendalam serta sebuah insight yang nantinya dapat digunakan untuk pengambilan keputusan.

Kegunaan Big Data dan BDA sangat beragam dalam lini kehidupan. Contohnya dalam sebuah perusahaan retail, Big Data dapat digunakan untuk merekam hasil penjualan masing – masing produk selama periode tertentu. Dari data hasil penjualan masing – masing produk tersebut, BDA dilakukan untuk mengambil sebuah informasi selera konsumen, yang kemudian dapat digunakan untuk mengambil keputusan jenis dan kuantitas produk yang akan dijual kedepannya. Hal serupa dilakukan pula dalam sektor perpajakan di negeri ini.

Baca Juga  Simak Perbedaan Bebas PPN dan Tidak Dipungut PPN, serta Syarat Memanfaatkannya

Di Indonesia terdapat tiga sistem pemungutan pajak, salah satunya adalah self assessment. Pada sistem self assessment, Wajib Pajak menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terhutangnya secara mandiri. Pada sistem ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengawasi bagaimana pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak.

Terdapat dua jenis kepatuhan yang diawasi oleh DJP, yakni kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal berkaitan dengan bagaimana pemenuhan kewajiban proseduran dan administrasi sesuai dengan ketentuan perpajakan, misalnya membayar pajak dan melaporkan SPT tepat waktu serta memenuhi persyaratan – persyaratan yang diperlukan. Sedangkan kepatuhan material berkaitan dengan teknis, yakni kebenaran perhitungan pajak yang terutang.

Untuk mengawasi kepatuhan formal lebih mudah, karena sistem yang dimiliki DJP telah sejak lama handal dalam mendeteksi ketidakpatuhan formal, misalnya keterlambatan pelaporan SPT Tahunan. Namun untuk mengawasi kepatuhan material, harus dilakukan penelitian dan pengujian yang membutuhkan data dari berbagai sumber, contohnya data internal dan data ILAP (Institusi, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak lain). Untuk menghimpun dan menganalisis data dalam volume sangat besar dan bervariatif dari berbagai sumber dengan cepat ini, DJP harus menggunakan Big Data sekaligus dengan BDA.

Dengan Big Data integrasi antar entitas, DJP dapat mengetahui mutasi rekening seseorang, belanja atau transaksi yang dilakukan, hingga penghasilannya dari berbagai pekerjaannya. Dengan data – data tersebut, dilakukan BDA melalui alat – alat tertentu untuk menemukan potensi penerimaan pajak dari seorang Wajib Pajak. Setelah itu, dilakukan benchmarking antara potensi dengan pajak yang sebenarnya dibayarkan untuk menentukan apakah terdapat perbedaan atau tax gap. Hasil benchmarking ini menjadi salah satu pertimbangan dilakukan pemeriksaan terhadap seorang Wajib Pajak.

Baca Juga  Sertifikat Elektronik Wajib Pajak Badan Bisa Diajukan oleh Kuasa?

DJP membuat sebuah terobosan berupa pengembangan BDA dalam infrastruktur perpajakan pada 2015 lalu. Di bidang pelayanan, e-filing diluncurkan sebagai sistem pelaporan kewajiban perpajakan secara daring dan terotomatisasi.

Kemudian di bidang pengawasan, sebuah aplikasi bernama Compliance Risk Management (CRM), aplikasi pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi proses identifikasi hingga evaluasi, juga dikembangkan sebagai sebuah alat BDA. Sedangkan untuk Big Data, DJP telah memiliki sebuah Big Data dengan nama Data Warehouse Terintegrasi (Dawet) yang terus dikembangkan.

Dengan penggunaan Big Data, proses pendeteksian fraud dapat lebih cepat dilakukan. Apabila sebelumnya membutuhkan 1 hingga 2 tahun untuk menguak ratusan kasus, dengan bantuan Big Data dan BDA, ribuan hingga puluhan ribu kasus dapat diciduk dalam rentang waktu yang sama. Modus seperti faktur Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya (TBTS) serta bukti potong palsu dapat dicegah dengan penggunaan aplikasi e-faktur dan e-bupot yang saat ini telah terintegrasi, sehingga lebih mudah dilakukan analisis.

DJP terus berusaha menjadi data-driven organization, supaya iklim perpajakan di negeri ini semakin optimal. Dengan menggunakan algoritma machine learning dalam BDA, data yang berlimpah akan dapat diproses secara otomatis. Pengembangan lebih lanjut dari machine learning ini dapat mentransfer knowledge yang dimiliki para petugas pajak ke dalam algoritma. Imbasnya, hal ini akan memudahkan kinerja para petugas pajak serta pengambilan keputusan baik manajerial maupun operasional.

Terdapat beberapa gambaran bentuk modelling dari machine learning sebagai bagian dari BDA. Classification modelling dapat digunakan untuk memprediksi dan mengklasifikasikan Wajib Pajak yang berpotensi menggelapkan pajak dengan yang taat pajak. Regression modelling dapat digunakan untuk memprediksi dan mengestimasi penerimaan pajak. Nantinya modelling inilah yang digunakan untuk menyusun target penerimaan pajak yang akan ditetapkan secara nasional maupun di setiap kantor pajak.

Baca Juga  DJP: 10 Juta Lebih Wajib Pajak Telah Lapor SPT

Kemudian terdapat pula Clustering modelling dapat digunakan untuk memberikan peringkat pajak pada para Wajib Pajak yang menunjukkan kepatuhan membayar pajak. Dari peringkat ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pengambilkan keputusan, misalnya pemberian insentif perpajakan atau permohonan angsuran.

Intinya, Big Data sekaligus dengan BDA menjadi sebuah elemen penting dalam perkembangan iklim perpajakan di Indonesia kedepannya. Selain bermanfaat bagi DJP sendiri dalam mengoptimalkan penerimaan perpajakan, Big Data juga bermanfaat bagi Wajib Pajak dalam proses pelayanan perpajakan.

Dengan adanya e-filing, e-faktur, dan e-bupot, potensi kesalahan pengisian dapat diminimalisasi. Perhitungan pajak dan pengisian juga lebih efisien dengan adanya sistem terintegrasi DJP dengan berbagai entitas.

Penerapan Big Data dan BDA dalam perpajakan harus menjadi dorongan bagi Wajib pajak untuk semakin patuh dalam memenuhi kewajibannya. Selain semakin sulit untuk mengemplang pajak dan menipu para petugas pajak, perkembangan infrastruktur ini semestinya menyadarkan diri kita untuk membantu kemajuan bangsa dan negara melalui perpajakan. Karena itu, jadilah Wajib Pajak yang taat dan berkontribusi positif bagi negara. Orang bijak taat pajak!

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *