Pajak.com, Jakarta – Untuk mengatasi lonjakan inflasi yang terjadi di Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) atau bank sentral Amerika Serikat telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin atau 0,5 persen. Kenaikan itu merupakan kenaikan terbesar dalam dua dekade terakhir.
Dalam konferensi persnya, Ketua Fed Jerome Powell menyampaikan, dengan kenaikan suku bunga itu, bank sentral AS juga akan mulai mengurangi kepemilikan aset pada neraca sebesar 9 triliun dollar AS. The Fed telah membeli obligasi untuk menjaga suku bunga rendah dan kelancaran cash flow selama pandemi. Namun demikian, lonjakan harga membuat bank sentral mengambil kebijakan moneter yang lebih ketat.
“Inflasi terlalu tinggi dan kami memahami kesulitan yang ditimbulkannya. Kami bergerak cepat untuk menurunkannya kembali. Kami sangat berkomitmen untuk memulihkan stabilitas harga,” kata Powell seperti dikutip CNBC Kamis (5/5/22).
Kenaikan suku bunga yang diumumkan pada Rabu (4/5/22) itu dikabarkan juga akan mendorong suku bunga dana federal ke kisaran 0,75 persen sampai dengan 1 persen. Powel mengungkapkan, saat ini pasar berharap bank sentral AS untuk terus menaikkan suku secara agresif dalam beberapa bulan mendatang. Namun menurut Powell, kenaikan 50 basis poin ini perlu dibahas lebih lanjut.
“Tujuh puluh lima basis poin bukanlah sesuatu yang secara aktif dipertimbangkan oleh komite. Ekonomi Amerika sangat kuat dan dalam posisi yang baik untuk menangani kebijakan moneter yang lebih ketat,” kata Powell.
Dengan adanya kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS itu, Bank Indonesia diperkirakan juga akan menaikkan BI 7-Day (Reverse) Repo Rate atau BI-7DRR secara total sebesar 75 basis poin atau 0,75 persen, menjadi 4,25 persen pada 2022 dari tahun sebelumnya sebesar 3,50 persen. Hak ini disampaikan ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman dalam keterangan tertulis Kamis (5/5/2022).
Menurut Faisal, sikap The Fed lebih hawkish di tengah meningkatnya tekanan inflasi. Namun, Faisal memprediksi, BI tidak akan terburu-buru untuk menaikkan suku bunga acuan.
“Peningkatan BI-7DRRR akan sangat bergantung pada kondisi inflasi domestik yang kami perkirakan akan meningkat secara fundamental dan substansial di semester II tahun ini,” kata Faisal.
Faisal mengatakan, melonjaknya harga komoditas global akibat konflik antara Rusia dan Ukraina telah mendorong kinerja ekspor Indonesia dan memperpanjang rangkaian surplus perdagangan. Kondisi itu dinilai dapat mendukung kondisi neraca transaksi berjalan serta menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yakni bisa memberikan ruang yang cukup bagi BI-7DRRR dapat bertahan level 3,50 persen dalam beberapa waktu ke depan.
Comments