Menu
in ,

Tiga Prioritas Belanja Pemerintah di Tahun 2023

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, tiga prioritas belanja pemerintah di tahun 2023. Ia memastikan, belanja negara akan merespons pelbagai dinamika ekonomi global dan domestik. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga dipastikan terus hadir melalui berbagai kebijakan yang seimbang untuk mendukung pemulihan ekonomi; membantu kelompok rentan dan tidak mampu; mendukung dunia usaha, terutama Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

“Maka dari itu, prioritas belanja pemerintah tahun 2023, pertama, adalah bidang perlindungan sosial. Alokasi ini akan tetap dijaga range-nya antara Rp 349 triliun hingga Rp 332 triliun. Anggaran perlindungan sosial untuk tetap menjaga masyarakat yang rentan, mendukung perlindungan sosial sepanjang hayat, dan juga mendorong perlindungan sosial yang makin adaptif,” ungkap Sri Mulyani, dalam keterangan pers setelah Sidang Kabinet, (14/4).

Untuk mendukung prioritas belanja itu, data penerima perlindungan sosial akan semakin dimutakhirkan. Secara simultan, kementerian sosial juga akan meluncurkan program pemberdayaan yang diintegrasikan dengan program perlindungan sosial.

Kedua, belanja pemerintah yang menjadi prioritas selanjutnya adalah bidang kesehatan. Sri Mulyani menyebutkan, anggaran kesehatan selama tiga tahun terakhir telah melonjak karena adanya pandemi COVID-19. Dari semula Rp 113 triliun di 2019 menjadi Rp 172 triliun pada tahun 2020. Dari anggaran Rp 172 triliun, sebesar Rp 52,4 triliun untuk belanja yang berhubungan dengan COVID-19. Sementara, belanja kesehatan melonjak lagi ke Rp 312 triliun di tahun 2021, di dalamnya termasuk Rp 190 triliun untuk penanganan COVID -19. Tahun 2022, diperkirakan belanja kesehatan mencapai Rp 255 triliun, sebesar Rp 116,4 triliun khusus dialokasikan untuk COVID-19.

“Karena tahun depan diperkirakan COVID-19 tidak lagi menjadi faktor, maka belanja kesehatan yang untuk nonCOVID-19 akan menjadi lebih penting. Kalau tahun ini belanja kesehatan yang tidak berhubungan dengan COVID-19 sebesar Rp 139 triliun, tahun depan akan dinaikkan menjadi antara Rp 193,7 triliun hingga Rp 155 triliun. Kenaikan belanja kesehatan itu bertujuan untuk mendukung reformasi di bidang kesehatan yang akan dilakukan oleh kementerian kesehatan,” ungkap Sri Mulyani.

Adapun reformasi itu, meliputi jaminan kesehatan nasional; meningkatkan kesiapsiagaan kesehatan; mendukung pembangunan sarana prasarana kesehatan, terutama di daerah; dan melakukan peningkatan layanan kesehatan dan penurunan stunting, termasuk penyakit yang merupakan penyakit yang sangat penting untuk diatasi, seperti tuberkulosis.

Ketiga, pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan di tahun 2023, yang akan meningkat mencapai Rp 595,9 triliun hingga Rp 563,6 triliun atau lebih tinggi dibandingkan tahun 2022 sebesar Rp 542,8 triliun.

“Ini akan mendukung berbagai belanja pendidikan, termasuk beasiswa kepada murid-murid, yaitu 20 juta siswa, Kartu Indonesia Pintar kepada 975,3 ribu mahasiswa, dan untuk membayar tunjangan profesi guru dan PNS untuk yang merupakan profesi pendidik sebanyak 264 ribu orang. Belanja pendidikan juga dipakai untuk operasi sekolah melalui BOS (bantuan operasional sekolah) dan juga bahkan biaya operasi sampai tingkat PAUD (pendidikan anak usia dini), dimana 6,5 juta anak-anak pada usia dini yang akan mendapatkan manfaat,” urai Sri Mulyani.

Secara total, belanja negara tahun 2023 didesain pada kisaran 14,09 persen—14,71 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau antara Rp 2.818,1 triliun—Rp 2.979,3 triliun.

“Belanja negara tersebut terdiri dari belanja pusat, yaitu antara Rp 2.017 triliun hingga Rp 2.152 triliun dan transfer ke daerah yang akan berkisar antara Rp 800 triliun hingga Rp 826 triliun,” urai Sri Mulyani.

Sementara, pendapatan negara tahun depan diperkirakan mampu mencapai 11,28 persen—11,76 persen dari PDB atau kisaran Rp 2.255,5 triliun hingga Rp 2.382,6 triliun.

Sri Mulyani menjelaskan, dalam mendesain APBN, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, seperti kenaikan inflasi dan pengetatan moneter. Hal itu berdampak pada sisi utang yang akan dikelola, baik tekanan dari sisi jumlah bunga utang maupun cicilan yang harus dibayar.

“Ini yang harus kita pertimbangkan sebagai bagian untuk mendesain APBN 2023 kembali menuju pada defisit di bawah 3 persen, yaitu agar jumlah kebutuhan untuk menerbitkan surat utang bisa diturunkan secara bertahap namun tetap berhati-hati,” ujarnya.

Dari sisi fiskal, APBN akan melakukan reformasi di bidang pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan dengan membangun pembiayaan yang semakin inovatif.

“Oleh karena itu, untuk APBN tahun 2023, kita masih akan terus mengkalibrasikan dan mempertajam pada perhitungan untuk belanja, baik pusat maupun ke transfer ke daerah, dan juga estimasi penerimaan negara,” tambah Sri Mulyani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version