Menu
in ,

Sri Mulyani: PDB Indonesia Sudah Kembali ke Prapandemi

Sri Mulyani: PDB Indonesia Sudah Kembali ke Prapandemi

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah mencapai pemulihan ekonomi. Hal itu ditunjukkan dari capaian produk domestik bruto (PDB) yang sudah kembali ke prapandemi, bahkan telah melampaui sebelum COVID-19.

“Kembalinya kinerja perekonomian Indonesia ke level prapandemi dilihat dari indeks PDB riil 2021 yang tercatat 101,1. Patokan indeks PDB riil sebelum COVID-19 adalah 100. Karena Indonesia sudah ada di atas 100, maka Indonesia sudah kembali ke kinerja perekonomian sebelum COVID-19 dan bahkan sudah melebihinya. Pemulihan ekonomi didorong oleh pemulihan dari sisi permintaan, yaitu konsumsi, investasi, ekspor. Dari sisi produksi manufaktur perdagangan dan konstruksi juga mencapai level prapandemi COVID-19,” jelas Sri Mulyani dalam high level discussion, bertajuk Strategic Policy Framework to Enhance The Usage of Local Currency Settlement in Trade and Investment in Asia, sebagai rangkaian dari Presidensi G20, (16/2).

Direktur Pelaksana Bank Dunia periode 2010–2016 ini mengatakan, pemulihan ekonomi Indonesia saat ini lebih cepat bila dibandingkan dengan kondisi krisis yang pernah dihadapi Indonesia pada tahun 1997–1998. Pada saat itu, Indonesia juga mengalami resesi ekonomi.

“Jadi bagi kami ini adalah hasil yang sangat baik dari ekonomi serta kebijakan yang kami pelajari dari pengalaman kami sendiri. Tetapi juga berakselerasi agar kita dapat menavigasi pandemi ini, implikasi kontrak, dan prospek pemulihan. Output pertumbuhan ekonomi Indonesia berhasil keluar dari zona negatif pada tahun 2021, dimana tumbuh positif 3,69 persen. Output Indonesia juga telah tercapai dan telah melewati tingkat prapandemi. Ini membuat Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki pemulihan yang sangat cepat,” kata Sri Mulyani.

Untuk mencapai itu, pemerintah telah menghabiskan sekitar 45,9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 656 triliun (asumsi kurs Rp 14.300)—23 persen dari total belanja di tahun 2021. Dari anggaran ini pemerintah memastikan dukungan terhadap pemulihan ekonomi.

“Pada 2021 ekonomi Indonesia berhasil tumbuh 3,65 persen. Ini setelah adanya kontraksi pada tahun 2020 sebesar minus 2,07 persen. Kita terus menjaga momentum pemulihan ekonomi, yang sebenarnya juga terjadi di seluruh dunia. Pemulihan ekonomi terus dijaga, baik dari sisi suplai, sisi produksi, lintas sektoral, maupun sisi permintaan. Ini membuat Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan pemulihan yang cepat,” kata Sri Mulyani.

Kendati demikian, ke depan terdapat pula tantangan yang tentu semakin kompleks. Oleh sebab itu, Sri Mulyani memastikan, kebijakan yang efektif akan terus dikeluarkan oleh pemerintah. Di sisi lain, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2023 akan kembali mengikuti seperti sebelum pandemi, yaitu kembali dengan postur defisit di bawah 3 persen.

“Walaupun dalam situasi ini kita akan terus berusaha untuk menggunakan kebijakan kita seefektif mungkin, maka proses pemulihan ini akan terus berlanjut dan akan didukung oleh kebijakan kita dalam sisi fiskal. Kami masih akan melakukan langkah-langkah untuk membuat detail Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF), yang dipresentasikan di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk menjadi bahan dalam menyusun RAPBN kita tahun 2023 yang masih akan berjalan,” ujar Sri Mulyani.

Ia mengungkap, saat ini Indonesia harus mewaspadai lonjakan inflasi dunia, terutama di negara-negara maju. Seperti Amerika Serikat (AS) yang telah menembus di angka 7,5 persen.

“Yang harus diwaspadai tadi disampaikan ke presiden adalah lonjakan inflasi dunia, terutama di negara-negara maju. Seperti diketahui AS mencapai 7,5 persen inflasinya pada bulan Februari ini, dan ini akan mendorong kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas. Tentu akan memberikan dampak spillover atau rambatan yang harus diwaspadai dalam bentuk capital flow,” ungkap Sri Mulyani.

Ia menjelaskan, arus modal (capital flow) akan berpengaruh negatif pada kenaikan suku bunga dan imbal hasil (yield) dari surat berharga negara (SBN). Hal ini akan mendorong biaya surat utang negara.

“Lingkungan ini harus diwaspadai karena negara-negara emerging, inflasinya sudah mengalami peningkatan, seperti Argentina mencatat inflasi 50 persen, Turki 48 persen, Brazil 10,4 persen, Rusia 8,7 persen, dan Meksiko 7,1 persen. Kenaikan inflasi yang tinggi tentu akan bisa mengancam proses pemulihan ekonomi karena daya beli masyarakat tentu akan tergerus. Ini yang akan diwaspadai,” ungkap Sri Mulyani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version