Menu
in ,

Pengenaan Pajak Kripto Perlu Pembahasan Mendalam

Pajak.com, Jakarta –Tarif baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen sudah mulai berlaku pada 1 April lalu. Tak lama setelah memberlakukan kebijakan itu, pemerintah juga menyampaikan wacana akan mengenakan PPN 0,1 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) final bagi transaksi aset kripto mulai 1 Mei mendatang. Pemungutan pajak atas transaksi aset kripto ini juga tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pengamat perdagangan aset kripto menilai, pengenaan pajak untuk aset kripto perlu pembahasan lebih mendalam.

Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda menyampaikan, pihaknya menyambut baik rencana pengaturan pajak terhadap transaksi aset kripto di Indonesia. Menurut Manda, pemberlakuan pajak terhadap aset kripto sangat memungkinkan dan memberi dampak positif pada industri yang sudah berjalan baik saat ini.

“Terutama agar industri ini dipandang memiliki legitimasi yang kuat seperti layaknya industri lainnya yang berkembang di Indonesia. Dengan adanya pengenaan pajak, ekosistem industri aset kripto dapat berkontribusi terhadap pemasukan negara,” tutur Manda kepada Pajak.com Senin (4/4/22).

Namun demikian, menurut Manda, pemberlakuan pajak tersebut masih perlu dikaji pembahasan yang lebih fokus dengan unsur kehati-hatian dan mendalam. Salah satu yang menjadi perhatian Manda adalah pertimbangan tarif PPN final. Ia menjelaskan, banyak negara, seperti Singapura, Malaysia dan sejumlah negara di Eropa tidak memungut PPN atas transaksi aset kripto. Meskipun tarif PPN final yang dikenakan hanya 0,1 persen dari total transaksi.

Di sisi lain, penerapan pajak yang terlalu tinggi terhadap aset kripto juga dapat menyebabkan potensi terhambatnya perkembangan industri kripto yang saat ini tengah berkembang.

“Perdagangan aset kripto di Indonesia terbilang masih baru. Jika tarif PPh Final atas aset kripto 0,1 persen, maka akan membebankan investor dalam negeri.,” tutur Manda.

Manda mengatakan, Aspakrindo mengajukan skema PPh Final sebesar 0,05 persen. Jika dihitung transaksi aset kripto tahun 2021 lalu di Indonesia mencapai Rp 859,4 triliun. Maka, apabila menggunakan skema PPh Final sebesar 0,05 persen, kontribusi aset kripto terhadap penerimaan negara ditaksir mencapai sekitar Rp 429,7 miliar.

Manda juga menegaskan, hal yang krusial pada dasarnya bukan melihat dari sisi berapa besar nilai yang harus dikenakan pajak, tapi bagaimana agar regulasi ini bisa berkembang sehingga nilainya akan mengikuti perkembangan itu sendiri. Dalam 2-3 tahun ke depan, diprediksi transaksi kripto bisa berpotensi menyumbang pajak hingga triliunan rupiah.

“Aspakrindo siap berkoordinasi dengan Kemenkeu untuk diskusi dalam pengambilan keputusan terkait mengenakan pajak atas aktivitas terkait aset kripto. Jika penerapan pajak yang terlalu tinggi dikhawatirkan akan membuat investor merasa dirugikan. Investor malah akan berinvestasi kripto di channel yang ilegal, yang akhirnya malah membahayakan dan mengurangi pendapatan negara,” kata Manda.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version