Menu
in ,

Pemerintah-ADB Bangun Infrastruktur Energi Berkelanjutan

Pajak.com, Skotlandia – Pemerintah menggandeng Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) untuk membangun infrastruktur energi berkelanjutan. Secara spesifik, kerja sama meliputi studi kelayakan dan rancangan penerapan mekanisme transisi energi (energy transition mechanism/ETM). Hal ini merupakan rangkaian pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa/Conference of The Parties ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia.

“ETM adalah program ambisius yang akan mampu meningkatkan infrastruktur energi berkelanjutan dan mengakselerasi transisi energi bersih menuju emisi nol bersih dengan prinsip adil (just), dan terjangkau (affordable),” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangan resmi yang diterima Pajak.com, pada (4/11).

Lebih lanjut, ETM merupakan suatu bentuk pembiayaan campuran (blended finance) yang dirancang untuk mempercepat penghentian pembangkit listrik bertenaga batu bara dan membuka investasi untuk energi bersih. Saat ini, ADB sedang melakukan analisis kelayakan implementasi ETM terhadap beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia, setelah sebelumnya melalui tahapan studi pra-kelayakan.

Menurut Sri Mulyani, terjangkau atau tidaknya transisi energi dapat dilihat dari kemampuan membayar masyarakat dan industri; serta perluasan akses energi; kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendukung transisi ini, baik dalam bentuk subsidi atau insentif, pembiayaan modal untuk energi baru dan terbarukan (EBT), transmisi, distribusi, serta penerimaan negara.

“Ekonomi Indonesia akan terus tumbuh dan permintaan untuk energi juga akan tumbuh. Permintaan energi yang terus tumbuh ini harus dipenuhi dengan efisien dan emisi karbon yang lebih rendah atau bahkan dengan emisi nol,” jelasnya.

Di sisi lain, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah Indonesia menyadari bahwa bagi negara berkembang, transisi menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan perlu dilakukan tanpa membebani keuangan negara. Oleh sebab itu, berbagai kebijakan dirumuskan dengan memastikan pertumbuhan yang tentunya membutuhkan keseimbangan.

“Untuk melakukannya, diperlukan kombinasi antara menurunkan ketergantungan terhadap pembangkit listrik bertenaga batu bara, dan dalam waktu bersamaan, membangun energi alternatif lebih hijau. Apabila negara berkembang ingin lebih ambisius, kita harus segera melaksanakan ETM yang sudah kita mulai dengan ADB ini,” kata Sri Mulyani.

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 29 persen di tahun 2030 dengan usaha sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional. Energi merupakan sektor yang akan berkontribusi besar terhadap target ini. Indonesia juga telah masuk ke dalam transisi menuju emisi nol bersih (net zero emission) paling lambat di tahun 2060. Pengurangan ketergantungan pembangkit listrik bertenaga batu bara adalah satu bagian penting dari transisi menuju ekonomi rendah karbon, dan ETM akan mengantarkan Indonesia lebih dekat kepada pencapaian target itu.

Saat ini Indonesia juga telah membentuk mekanisme pasar untuk karbon dan memperkenalkan mekanisme cap and trade, harga karbon, dan pajak karbon melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Mekanisme ini diperlukan untuk menjadikan ETM lebih efisien dan kredibel (termasuk measurement, reporting, and verification/MRV).

Sri Mulyani menjelaskan, pajak karbon akan diimplementasikan secara bertahap, mengikuti kerangka yang akan disiapkan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kebijakan terkait, seperti pembangunan pasar karbon. Indonesia akan memulai dengan harga karbon yang sangat rendah, yaitu sekitar 2 dollar AS (Rp 30 ribu) per ton emisi CO2 di tahun 2022—2024. Selanjutnya, di tahun 2025 ke atas dengan perluasan secara bertahap ke sektor yang merupakan subjek pajak karbon.

“Hal ini memberikan Indonesia suatu tujuan kebijakan yang sangat jelas dan memperoleh dukungan politik yang kuat,” tambahnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version